Sunday, June 26, 2011

Es Amaq Mus

Separuh usianya sudah dihabiskan untuk memikul dua rombong besar berisi aneka jajanan dingin. Ada es mambo, es lapis dan es buatan tangan lainnya. Kini usianya menginjak 60 tahun. Amak Mus, demikian ia biasa dipanggil mencoba untuk tetap bertahan. Tidak ada pekerjaan lain yang ia bisa kerjakan. Ia harus berjalan kaki setiap hari sepanjang puluhan kilo meter mendatamgi kerumunan warga seraya menawarkan jajanannya

 “ES es es es…sss” demikian biasanya teriakan pria paru baya yang sudah 35 tahun memikul dagangannya ini kala memanggil para pembeli. Berangkat seperti jam kerjanya para Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat pergi ngantor, dari Rumahnya di Sikur Kecamatan Sikur Kabupaten Lombok Timur (Lotim) dengan berjalan kaki. Menyusuri jalan-jalan kampong. Melewati kecamatan-demi kecamatan. Saat lelah datang, kendaraan ojek pun jadi pilihan. Tidak jarang juga memilih cidomo mengantarkannya ke tempat yang menjadi target pasar penjualannya. Dari desanya, terbilang sejumlah kecamatan dia lalui. Mulai Sikur, Sukamulia, Masbagik, Aikmel, Wanasaba dan Labuhan Haji hingga ke Pringgabaya. Mengingat perjalanan yang jauh, bekal nasi bungkus tidak lupa ia siapkan untuk makan siangnya. Tempat yang paling sering di kunjungi adalah sawah-sawah di wilayah Kecamatan Pringgabaya, Wanasaba dan Labuhan Haji. Targetnya adalah para buruh tani yang kehausan di tengah sawah saat bekerja. Karena sudah ditekal lama, dagangan Amak Mus ini pun terbilang cukup diminati. Ditengah persaingan kemunculan beragam jenis penganan berbahan es. Seperti es krim dan lainnya, tidak menyurutkan semangat untuk menjual jenis es yang ternyata diambil dari orang lain. Dalam sehari ia mengambil dari pembuat es seharga Rp 70 ribu. Jika habis terjual, dalam sehari Amak Mus bisa mengantongi Rp 50 ribu sebagai laba bersihnya. Sebagai penjual es yang sudah lama. Amak Mus pun tidak segan-segan mengutangi pembeli. Pembeli yang kebetulan tidak membawa uang dengan ikhlas saja dia utangi. Pengalaman sebagai penjual keliling membuatnya tidak terlalu takut tidak dibayar. Itulah mengapa ia keliling..”Sekalian nagih..!” ucapnya. Es seharga Rp 70 ribu sudah bisa dipastikan cukup berat. Kisarannya mencapai mencapai Rp 35 kilogram (kg). Dipikul tiap hari tanpa kenal lelah. Tidak heran, punggung pria dua anak ini cukup kebal. Karena perjalanannya yang cukup jauh, tidak jarang Amak Mus tersesat. Tidak tahu jalan pulang. Ntah karena apa,, ia pun mengaku bingung kala itu. Biasanya, berangkat jam 7.00 pagi pulang jam 21.00. Namun saat ia tidak menemukan jalan pulang itu, tengah malam baru ia bisa sampai setelah sekian kali bertanya. Kehidupan keluarga yang kurang berada membuatnya tidak mampu menyekolahkan dua orang anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Cukup sampai tingkat SMA. Saat ini, kedua anaknya itupun sudah membuang diri ke negeri Jiran Malaysia. Menjadi TKI. Salah seorang diantaranya dituturkan telah menikah dan punya seorang putri. Doa dan Pengharapannya, nasib anak cucunya bisa lebih baik dari dirinya. Demikian Amak Mus.

No comments:

Post a Comment