Thursday, February 10, 2011

Sumbangan Pertambangan, Kerap Timbulkan Ketidakpuasan Daerah



Pertumbuhan ekonomi NTB diketahui pada triwulan ke III tahun 2010 cukup tinggi. Bahkan paling tinggi secara nasional. Tergambar dalam sebuah grafik perbandingan 33 provinsi, yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), NTB menempai posisi teratas disusul ke bawah provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Posisi terendah adalah Papua yang digambarkan tumbuh minus sampai 10,41 persen. Posisi ke dua terbawah, Riau 2,70 persen dan Nangro Aceh Darussalam 3,05 persen.

SECARA kumulatif sampai dengan triwulan III 2010 ini perekonomian NTB tumbuh sebesar 13,01 persen. Jauh dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2009 lalu. Hanya saja, pertambangan non migas yang menjadi primadona ekonomi NTB pada catatan terakhir kondisi pertumbuhan ekonomi itu. Pasalnya, jika keluar dari hitungan pertambangan non migas tersebut, pertumbuhan ekonomi NTB menjadi 4,85 persen.

Sektor-sektor unggulan NTB, Jagung, Sapi dan Rumput laut sama sekali belum terlihat karena memang sumbangan yang terlalu kecil. Utamanya sektir pertanian yang digadang bisa memberikan sumbangan lebih belum bisa seperti pertambangan. Padahal, diakui masyarakat NTB sebagian besar bekerja di sector pertanian.

Tingginya sumbangan sektor pertambangan pada triwulan ke III tahun 2010 diterangkan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben), Eko Bambang Sutedjo, diakui karena harga komoditi pertambangan yang cukup tinggi. Setidaknya ada dua kuncinya pertambangan dicatat tetap mendominasi.

Pertama di sebutkan Eko, volume produksi pertambangan yang cukup tinggi. Ke dua, harga sangat mendukung. “Harga komoditas tambang ini sangat tinggi,” ucapnya. Mainannya pun ekspor, tembus ke pasar dunia. Untuk hasil tambang konsentrat tembaga yang diekspor, catatan terakbir BPS NTB , tembus dengan harga 154,971 juta Dolar Amerika.

Analisa Kadistamben NTB ini bisa saja benar, karena terlihat dari pajak dan royalty yang dibayarkan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) ke pemerintah pusat cukup besar tahun 2010 itu, jauh lebih besar dibandingkan tahun 2009. Pernah disebutkan, Manajer Kasan Mulyono, NNT menyetor ke pusat tahun 2009 sebesar Rp 3,9 miliar dan tahun 2010 ini kemungkinan besar bisa tembus Rp 5 miliar. Tentunya, belum lagi bayaran yang lainnya.

Semua fulus tambang itu tidak bisa sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan didaerah penghasil tambang semata. Dijelaskan, Eko Bambang, terhalang sama kebijakan fiscal yang bersifat terpusat. Diakui sumbangan pajak dan royalti melalui pertambangan memang cukup besar, namun semuanya harus ke pusat dulu baru kemudian disalurkan ke daerah.

Penyaluran ke daerah itupun, tidak sepenuhnya ke daerah pengasil. Pasalnya, pemerintah pusat harus membagi-baginya dengan daerah lain. Hal itu dilakukan pemerintah pusat, karena Negara Indonesia merupakan Negara kesatuan. “Kita kan berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ucapnya.

Kebijakan penyaluran dana perimbangan yang disalurkan pemerintah pusat itu yang kerap membuat pemerintah daerah merasa tidak puas. Memang ada tambahan melalui dana devident tang diterima daerah. Namun penyaluran itu ada aturan sendiri. “Kita semua kan harus mengikuti instrument yang tertuang dalam undang-undang,” imbuhnya.

Sumbangan tambang tinggi, namun kesan semu tidak saja dirasakan pemerintah di NTB. Daerah-daerah lain yang juga penghasil tambang, dirasa juga tidak puas dengan dana bagi hasil yang peroleh dari proses pertambangan. Untuk merubah kebijakan pemerintah itu, maka manajemen pemerintah itulah yang harus dirubah. Tentunya lewat lembaga legislative.

Karena itulah, pemerintah yang berada di daerah penghasil mencoba mencari jalan lain. Mencari peluang melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau dana Commodity Development (Comdev) yang dikeluarkan perusahaan tambang. Melalui comdev dan CSR inilah coba disentuh oleh pemerintah program-program strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sebagai contoh, sebut Eko, tahun 2011 ini PT. NNT akan membeli sedikitnya 1500 ekor sapi sebagai bentuk dukungan terhadap pengembangan NTB Bumi Sejuta Sapi (BSS). Program-program lainnya juga. Sadar masih kecilnya perolehan yang diterima daerah, pemerintah terus mendorong perusahaan tambang untuk mengeluarkan comdev. Dari dana tambang kurang, namun bukan berarti tidak lebih kreatif dalam mencari celah untuk memperoleh dana selain devident dari perusahaan tambang.

Pengamat pertambangan, H. Agusfian Wahab, SH pernah menyebutkan, bahwa, apa yang diterima daerah NTB pada khususnya terkait dengan keberadaan tambang selama ini masih kurang layak. Pemerintah daerah NTB, pemerintah kabupaten penghasil dan pemerintah provinsi harus bersama-sama memperjuangkan agar bisa mendapatkan lebih. Puluhan miliar dana comdev pun sejauh ini yang diterima KSB misalnya dirasa masih kurang.

Usulan adanya revisi terhadap Kontrak Karya (KK) pun disetujui Agusfian. Dengan harapan benar-benar demi kesejahteraan rakyat