Monday, December 20, 2010

Efek Tetes Ekonomi Pariwisata NTB (1)



Kecantikan dan kemolekan alam dan kekayaan budaya yang dimiliki NTB disadari sebagai daya tarik luar biasa, modal gratis anugrah sang Kuasa bagi NTB. Dipublikasikan besar-besaran agar orang bisa tertarik datang berkunjung menikmati NTB. Sadar akan potensi besar itu, sector pariwisata oleh Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi, MA dan wakil Gubernur NTB Ir. Badrul Munir, MM menjadikannya sebagai sector unggulan yang akan digerakkan untuk bisa mengangkat martabat NTB. Termasuk mengangkat dari keterpurukan ekonomi.

SEMUA kalangan tanpa keraguan memuji dan mengangungkan Lombok dan Sumbawa beserta 282 pulau kecil yang mengelilinginya. Sebanyak 4,49 juta jiwa penduduk yang mendiami NTB digadang bisa menikmati economic impact atau pengaruh kemajuan perekonomian NTB sebagai imbas langsung hadirnya wisatawan ke NTB.

Klaim pemerintah dunia pariwisata mulai menggeliat. Hal itu seiring dengan tumbuh dan berkembangnya sumber-sumber pendapatan masyarakat baru. Lahir pengusaha-pengusaha baru dibidang pariwisata, antara lain tumbuh perusahaan travel, lahir hotel-hotel baru dan beragam kegiatan ekonomi yang bergerak di bidang pariwisata lainnya. Namun klaim pemerintah dinilai sebuah kebohongan.

Direktur Permata Rinjani Tours and Travel, Fahrurrozi mengatakan, apa yang dilakukan pemerintah selama ini hanya untuk kepentingan pemerintahs aja. Pertumbuhan ekonomi yang langsung dirasakan masyarakat sebagai salah satu dari multiplayer effect katanya hanya gulatan teori saja.

Pemerintah dinilai hanya berapologi terhadap kelesuan sector pariwisata yang bersembunyi. Fakta di lapangan dirasakan pelaku wisata ini hanya hanya menjadikan masyarakat kecil sebagai penonton saja. Pemerintah saja yang dinilai girang dengan klaim arus kunjungan yang ditargetkan 700 ribu orang ini.

Pelaku wisata ini pun siap menantang pemerintah melihat kondisi ril pariwisata NTB. Teori yang digaungkan pemerintah mampu mengangkat perekonomian masyarakat sama sekali tidak terasa. Bahkan terhitung sejak tragedy 1/7/1 silam, tidak ada sedikitpun geliat pariwisata yang ia rasakan.

Pengusaha yang sudah terlihat maju semakin maju sedangkan yang rendah semakin tenggelam. Disinilah ketidakadilan pemerintah. Akibatnya, pariwisata yang katanya maju hanya dirasakan oleh kalangan elit dibawah intervensi pemerintah. Sedangkan pengusaha yang masih merangkak, malah semakin tiarap gerakannya. Diibaratkan, dalam dunia usaha pariwisata ini berlaku hukum rimba. Yang kuat semakin kuat yang lemah semakin tidak berdaya.

Pengusaha kecil semakin gigit jari menonton aksi riang para pelaku usaha yang sudah besar. Jangankan bicara kesejahteraan, soal kemampuan untuk mempertahankan usaha pun terpaksa terbirit-birit.

Seperti dirasakan Fahrurrozi ini, perusahaan travel yang dipimpinnya justru semakin lesu. Tidak ada kegirangan dan keceriaan yang ia rasakan dengan klaim kemajuan pariwisata tersebut. Harapannya, pemerintah bisa memediasi para pelaku usaha kecil agar bisa bernafas. Tak ayal juga, banyak rekannya yang sedang merintis ini kolap.

Ditambahkan, promosi yang telah menelan dana Rp 8,5 miliar dalam kegiatan Tourism Indonesia Mart and Expo (TIME) 2009 dan 2010, masing-masing Rp 5 miliar dan 3,5 miliar hanya buang-buang uang saja. Tidak ada sedikit pun dampak yang nyata bagi pelaku usaha kecil dalam bidang pariwisata ini.

Teori estimasi TIME 2010 misalnya dikatakan telah mampu mentraksikan 18,9 juta dolar Amerika tentu dipertanyakan kemana arahnya? Transaksi para buyer dan seller wisata Bagi Fahrurrozi semuanya hanya teori saja. “Saya juga sering ikuti acara yang serupa, tidak ada perubahan sama sekali,” imbuhnya.

Selama lima tahun menjalankan usaha bidang pariwisata itu katanya hanya isapan jempol saja kemungkinan adanya untung besar. Faktanya, teori dengan praktek di lapangan ini benar-benar tidak sesuai.

Sedikit berbeda dengan Fahrurrozi, Sales Manager Hotel Senggigi Beach Hotel, Okayana, mengatakan klaim pemerintah terhadap arus kunjungan wisata yang mulai menggeliat ke NTB cukup dirasakan dampaknya.

Kebijakan Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi, MA., agar event-event Meeting Incentive Convention and Exhibition (MICE) diadakan di NTB sangat terasa. Arus kunjungan wisata berdampak cukup besar pada income perhotelan. “Benar apa yang dikatakan pemerintah itu,” cakap Okayana.

Disebutkan, pertumbuhannya antara 65-80 persen. Angka itu dipandang sudah cukup bagus perkembangannya. Selama beberapa bulan terakhir ini khususnya, Gubernur NTB dipandang telah mampu membuat tersenyum para pelaku wisata perhotelan itu.

Hanya saja yang dominan masih angka wisatawan domestic saja. Sementara wisatawan luar negeri masih sangat minim. Kegiatan promosi yang mulai geliat pun dirasa sudah mulai terlihat. Selama mulai Juli-Agustus, September-Oktober angka kunjungan wisatawan yang menggunakan fasilitas hotel cukup terasa.

Friday, October 15, 2010

Fight Hunger

The occurrence of climate change is often triggered disasters in Indonesia, including NTB require a high level of vigilance against the possibility of starvation. The threat of starvation due to the disaster that must be fought as early as possible. One of them, should revitalize the village government kembalai food reserve (CPPD).

Thus disclosed Head (Head of) Food Distribution (DP) Food Security Agency (BKP), the Ministry of Agriculture (Kementan) RI, Arman Monek, answering reporters after a dialogue with the theme of independence filling food to combat hunger in the Hotel Lombok Raya Mataram on Thursday (14 / 10) yesterday.

Food reserves at the central government began to district / city believed to be quite safe. Still a problem is the food reserve at the village level. Under the regulations the minister of interior (Permendagri) No. 20 of 2008 on village food reserves, it is deemed necessary to revive in every village there are food reserve administration.

Added, anticipation of hunger is considered a necessity. Where, the threat of landslides, droughts, floods and various forms of unwanted disasters occur it can be anticipated in advance.

Dilingkup own food security, sought the society itself also has a food reserve. Therefore be given assistance barns and create community food distribution agencies (LDPM). Where nationally LDPM provided untu 750 villages, and the NTB itself to about 20 villages. Besides, there are national assistance barns as much as 282 barns.

Of that amount realized is still very much compared with the number of villages in the entire NTB. The hope, the villages could be a stimulus given to the regions and communities themselves to do the same. Because the duty to provide food that is not just a government obligation. Mandate in Act No. 7 of 1996 concerning food security, stated the government and society together have an obligation to achieve food security.

Arman asserted, hunger-related problems with the condition that is always a surplus of food production is believed to have no hunger. "That there was poverty, hunger if the Indonesian people had no hunger," he believes.

Thursday, October 14, 2010

Famine Threat Anticipation




One of the serious attention the government is the problem of food. The development of current world demand for permanent availability of food, so they can avoid the threat of starvation. Forests can be seen to provide solutions to the problem of food.

MINISTER forestry, Zulkifli Hasan in his speech said the forest area can be used principally to produce the best possible food. Htan has a potential food source. In the forest can be planted tubers, nuts, seeds are planted without damaging the beauty of the forest.

The expression of Forestry was presented in the activities of the National Seminar on World Food Day held at the Hotel Jayakarta Senggigi, Wednesday (6 / 10) last night.

Mentioned Forestry, a total of 77 types of food sources that contain carbohydrates can be produced from the forest. A total of 26 species of beans, 110 buji type of grain and about 1260 kinds of medicine. Recognizing that forests have great potential for substantial benefits for improving food security, since the year 2008 and then pursued the activity of intercropping.

Contribution of forests covering 7.9 million hectares of forest area to be used as intercropping. From that area, can produce about 3.3 million tons per year in the form of food grains, corn and a variety of other food commodities. Last ten years we are able to exit from the threat of famine and continue to work towards food self-sufficiency.

According to Zulkifli, if farmers are not prosperous forest may be damaged. Conversely, kawawsan forests that are damaged because of poor farmers. Where, for thinking about the forest eat definite choice. Moreover, the poor were so far mostly located in the vicinity or inside the forest area.

Meanwhile, the Governor of NTB, TGH. M. Zainul Majdi, MA about food-related claim, a nation that can reach the peak of civilization when he was able to meet its food security.

Governor tries to tells the history of the Prophet Joseph, in Egypt, tens of centuries ago. It is said, the Prophet Joseph was the only person who directs menyetok importance of food to deal with a bad season. "Only Joseph can maintain food sovereignty that time," he explained. So his day, Egypt's quite advanced.

Based on historical fact, the food is considered the Governor, food shows dignity of the nation. Realizing this, West Nusa Tenggara provincial government is very serious in matters of food. It's just talking about the area, of course is the authority of the minister of forestry. Because the unconscious, the region relied hutanlah yangd apat can continue to support food security. "We expect this Forestry policy in favor of the community," said the Governor.

Sunday, October 3, 2010

Prubahan Iklim Bisa Meningkatkan Angka Kemiskinan


“Banjir terjadi dimana-mana, di daerah tertentu curah hujan semakin kecil. Bumi semakin panas akibat lapisan ozon yang hilang,” demikian beberapa hal akibat dari dampak perubahan iklim. Masyarakat miskin, petani di pedesaan, nelayan di pesisir laut dianggap paling rentan terkena dampak perubahan iklim yang terjadi.

DOKTOR Dewi Kirono dari Badan Kerjasama Pembangunan Internasional Australia (AusAID) mengatakan, badan dunia beranama The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), mencatat perubahan iklim terus terjadi sejak tahun 1900. Sebagian besar karena ulah manusia. Antara lain karena efek rumah kaca.

Hal itu diterangkan Dewi kepada wartawan disela workshop mengenai perubahan iklim memberi gambaran, bahwa perubahan iklim ini perlu dirancang bagaimana strategi mengatasinya. Sehingga dampak negatif bisa dikurangi.

Secara global, bumi semakin panas dengan suhu mencapai 0,90 celcius. Untuk manusia mungkin tidak terlalu berdampak, namun untuk ekosistem yang sensitif, seperti tumbuh-tumbuhan jelas akan memiliki dampak yang besar. Kondisi perairan pun saat ini diangkap sudah morat-marit.

Mengatasi persoalan itu, maka perlu manusia diajarkan beradaptasi. Utamanya bagi kalangan petani atau nelayan di pesisir. Di NTB, saat ini sedang dilakukan identifikasi masalah perubahan iklim tersebut dan bersama para peneliti dari Universitas Mataram (Unram) bekerjasama dengan peneliti dari Australia merancang strategis bagaimana adaptasi terhadap lingkungan yang terus berubah ini.

Di Unram telah ada tim khusus yang akan meneliti dan mencoba turut merancang strategi adaptasi perubahan iklim ini, utamanya dampaknya bagi masayrakat miskin. Guru besar peternakan, Prof. Dr. Ir. Yusuf Achyar Sutaryono, sebagai selaku leader tim penyusunan project adaptasi iklim tersebut.

Menjawab wartawan, Yusuf mengatakan, masyarakat NTB khususnya belum mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi selama ini. Dicontohkannya, petani tembakau di NTB. Terjadinya curah hujan yang tinggi tahun ini tidak siap dihadapi, akibatnya produksi menurun.

Yusuf Achyar Sutaryono mengatakan terjadinya perubahan iklim alias climate change bisa membuat masyarakat semakin miskin. Hal itu terlihat dari fakta-fakta yang terjadi di pedesaan. Utamanya terhadap petani dan nelayan di pesisir.

Menyadari hal itu, dipandang perlu ada rancangan strategis untuk menyusun bagaimana masyarakat bisa tahu cara beradaptasi dengan perubahan iklim yang terus terjadi. Yusuf mencontohkan, terjadinya la nina saat ini tidak diketahui oleh petani. Akibatnya, petani hanya bespekulasi.

Spekulasi yang kurang tepat terhadap iklim tentu akan berdampak besar pada tanaman. Ketika tanaman petani rusak, jelas akan berpengaruh pada pendapatan mereka. Imbas akhirnya mereka semakin miskin. “Di pedesaan itu kan ada aktivitas pertanian, perkebunan, peternakan. Bisa dipastikan, merekalah yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim ini,” ucapnya.

Harus Ada Penghargaan

Dr. James Butler, seorang peneliti dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO) Australia mengatakan negara-negara maju memang sepantasnya memberikan penghargaan dan bantuan kepada negara berkembang seperti Indonesia. Utamanya dalam hal penyelamatan dan memperhankan lingkungan.

Menurutnya, persoalan ini sifatnya sangat politis. Sehingga ketika ilmuan dari Australia ini disoal panjang terkait hal itu, ia menolak bicara lebih panjang. Jelasnya, bagi James, harus memang ada sebuah kompensasi yang diberikan negara-negara maju.

Negara Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia. Negara agraris ini dinilai memang sebagai penyelamat dunia dari dampak perubahan iklim, alias climate change yang selama ini terus mengancam dunia. Bumi semakin panas, karena hancurnya lapisan ozon akibat pembangunan di negara-negara maju yang kurang memperhatikan dampak lingkungan.

Indonesia dan Brazil yang dikenal sebagai jantung dan paru-parunya dunia ini harus diberikan reward oleh negara-negara maju. Terlebih, selama ini Indonesia terus diminta oleh dunia global untuk menjaga lingkungannya terhadap dampak perubahan iklim ini.

Persoalan Akreditasi Kedaluarsa, Antara Kemalasan PT atau Ketidakseriusan BAN PT

Sejumlah perguruan tinggi (PT) ternama di NTB ternyata memiliki persoalan dalam hal akreditasi program studi. Selain telah dinyatakan banyak prodi yang kedaluarsa, diperparah lagi dengan prolehan akreditasi paling rendah, akreditasi C. Persoalan itu menimbulkan penafsiran, apakah karena kemalasan perguruaan tinggi (PT) atau ketidakseriusan Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan TInggi (PT)?

TERHADAP persoalan akreditasi tersebut, sejumlah Rektor yang ditanya mengaku sudah berusaha keras agar bisa mendapatkan akreditasi yang baik. Mulai dari Rektor Universitas Mataram (Unram), Prof. Ir. Sunarpi, PhD., mengaku sudah membentuk tim khusus bahkan untuk dapat segera mendapatkan predikat akreditasi pada semua prodinya.

Soal akreditasi ini pun menjadi bagian yang diungkapkan sebagai prioritas Unram. Akreitasi kembali disebutkan Rektor Unram itu sebagai bagian dari PR Unram yang disebutkan Sunarpi dalam peringatan Dies Natalis Unram ke 48 Sabtu (2/10) lalu.

Begitupun Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram, Dr. H. L. Said Ruhpina. Dikatakan, pihaknya selalu intens melakukan komunikasi dengan BAN PT agar segera mendapatkan akreditasi. Namun, kendala di BAN PT nilainya yang kurang tenaga sehingga terpaksa membuat antre seluruh PT yang ada di Indonesia. Ribuan prodi yang harus di akreditasi.

Keharusan mengantre itu diakui pula oleh salah seorang assessor BAN PT dari Unram, Prof. Ir. H. Mansur Ma’shum, PhD. Tahun ini saja sekitar 7 ribu prodi. Sementara tenaga Assesor terbatas. Ditambah lagi panjangnya proses yang harus dilalui hingga bisa prodi PT bersangkutan diberikan great akreditasi.

Mengakreditasi prodi dan juga akreditasi lembaga atau istitusi pendidikan itu ada aturan hukum yang jelas. Tidak ada alasan bagi PT sebagai institusi pendidikan tidak melakukan akreditasi. Aturan hukumnya, mulai dari pasal 60 dan 61 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) juncto (jo) pasal 147 UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen jo pasal 86, 87 dan 88 Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang standar pendidikan nasional (SPN) serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) tahun 2005 tentang BAN PT.

Bagi yang tidak terakreditasi, ditafsirkan tidak diperkenankan mengeluarkan ijazah. Terang saja mahasiswa terombang ambing dan kebingungan mengetahui prodinya tidak terakreditasi. Persoalan terbesarnya, ijazah mereka tidak memiliki player effect sama sekali. Tidak heran juga kalau melamar ke sebuah perusahaan ternama, mereka terpental dengan sendirinya.

Apakah mahasiswa dibiarkan menjadi korban atas sistem yang dibuat para elit pendidikan ini? Harapan mahasiswa ada jalan keluar yang bijak yang bisa diambil para penentu kebijakan. Tentu tidak diinginkan mereka, sudah bayar kuliah mahal-mahal namun ijazah tidak ada gunanya jelas akan menjadi masalah baru. Bisa menambah pengangguran structural.

Sedangkan bagi Rektor Universitas 45 Mataram, Drs. H. Sabidin Rifaeni, menilai soal akreditasi memang telah diamanatkan konstitusi. Sejauh ini, PT tidak selalu berusaha untuk meningkatkan akreditasinya. Tidak ada PT yang tidak ingin mendapatkan great akreditasi terbaik. Namun acap kali termentahkan dalam proses pengurusannya. Disadari Rektor Universitas 45 Mataram ini mendapatkan akreditasi C bisa dibilang hanya sekedar lulus. Akreditasi C terlalu kecil dan rendah.

Hanya saja, menurut Sabidin, persyaratan yang dituangkan BAN PT terlalu ribet. Sehingga PT dalam mengurus akreditasi sangat panjang jalan liku yang harus dilalui. Dokumen-dokumen yang harus diisi sangat panjang. Ia mengatakan prinsipnya ijazah tanpa great akreditasi bisa saja sah. Diibaratkan Sabidin, BAN PT hanya memberikan predikat, berupa nilai A, B dan C. seperti predikat ISO.

Ditanya mengenai akreditasi prodi di kampus 45 Mataram yang dalam catatan BAN PT banyak yang telah kedaluarsa dibantah Sabidin. Katanya, kampus 45 sudah lama mengusulkan akreditasi dan sudah terakreditasi semua. Harapannya, BAN PT bisa mengupdate data yang dimuat secara online di situs BAN PT tersebut. Pasalnya, kalau tidak diperbaharui bisa merugikan PT dan mahasiswa sendiri.

Ditambahkan Sabidin, BAN PT semestinya bisa menambahkan tenaga assessor nya. PT yang berada di wilayah Indonesia bagian timur semestinya bisa diakreditasi oleh BAN PT yang ada di wilayah timur. Tidak seperti sekarang dipusatkan semua di Jakarta. Tenaga BAN PT yang terbatas itulah yang dianggap paling banyak memicu keterlambatan proses akreditasi.

Sementara itu, pemerhati pendidikan, Dr. H. Rusliawan, MPd, menilai, persoalan akreditasi selama ini sepihak diurus oleh PT. Jajaran PT yang harus mengejar bola mencari great akreditasi. Jika tidak ada usulan, maka dibiarkan saja prodi bersangkutan mati karena tidak pernah ada pengakuan. Harapannya, BAN PT bersama Direktorat Jendral (Dirjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) bisa aktif juga.

Selama ini dinilai belum ada aturan hukum yang jelas sebenarnya. Aspek hukum apa yang akan diterima jika tida terakreditasi. Memang ada aturan yang mengamanatkan harus terakreditasi. Namun dictum yang jelas tentang akreditasi itu dalam penjelasan Peraturan Pemerintah (PP) yang lebih teknis belum ada sampai sekarang. Diharap pememrintah segera memberikan aturan yang lebih jelas.

Bagi PT sendiri diharap bisa membentuk tim khusus baik ditingkat perguruan tinggi maupun di tingkat fakultas. Tim ini diharap bisa mengawasi dan mengurusi secara murni persoalan akreditasi. “Bila perlu bentuk kelembagaan khusus,” sarannya.

Mekanisme seperti dewasa ini di PT, di fakultas menyerahkan sepenuhnya ke Pembantu Dekan I dianggap tidak cukup. Pasalnya, mengurus akreditasi dengan sistem seperti sekarang cukup sulit untuk bisa cepat. Sementara disadari tiap tahun PT mengeluarkan ijazah.

Konon, tahun 2011 ini yang tinggal dua bulan ini, pemerintah pusat telah memberikan warning kepada seluruh PT baik negeri maupun swasta agar segera mengakreditasi prodi-nya. Namun tampaknya, warning itu tidak mungkin bisa direalisasikan mengingat fakta sebagian besar PT belum jelas akreditasinya. Semoga benar, para generasi penerus bangsa yang menempuh kuliah tidak menjadi korban atas kesemrautan sistem dalam dunia pendidikan tersebut.

Thursday, September 23, 2010

Jual Jagung Berkualitas Pastikan Margin Lebih Besar


Kepala Dinas (Kadis) Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (PTPH) NTB, Ir. Pending Dadih Permana, MEc. Dev., mengutarakan selama ini jagung yang dijual petani tanpa standar mutu. Kualitas jagung yang dihasilkan masih dibawah standar nasional Indonesia (SNI). Akibatnya, keuntungan yang diperoleh petani pun minim. Karenanya, coba diajak untuk menjual jagung yang berkualitas, dengan demikian margin keuntungan yang diterima petani bisa lebih besar.

Dikatakan, jagung yang terjual tanpa great SNI itu hanya Rp 1.600-1.800 perkilogram. Masuknya, i-Pasar yang menawarkan sistem lelang telah mampu meningkatkan margin keuntungan yang cukup besar bagi petani.

Karenanya, jagung-jagung yang masih dibawah standar itu coba ditingkatkan kualitasnya. Salah satu caranya, menurunkan kadar air hingga 14 persen. Sejauh ini, jagung yang dihasilkan petani utu setelah dianalisis mampu menjadi jagung dengan great mutu II-III. Jagung yang masuk mutu III dalam spot lelang ini selama ini dihargakan dengan harga standar Rp 2.200 perkilogram.

“Kemarin yang mutu III ada yang terjual dengan harga Rp 2.385 perkilogramnya, dan itu menjadi penawaran tertinggi,” tutur Dadih.

Dijelaskan, sistemnya selama ini jagung yang diperoleh dari gabungan kelompok tani diterima dalam bentuk kemasan 50 kg masuk ke gudang. Ketika masuk proses lelang, langsung dengan harga standar Rp 2.200 perkilogramnya. Saat lelang, selalu melebihi harga standar itu. Bahkan jagung mutu I dan dua pernah terjual dengan harga Rp 2.630 perkilogram.

Disoal tentang produksi, tahun 2010 ini bisa mencapai 370 ribu ton. Sepertiga dari total produksi itu diharapkan bisa masuk dalam proses lelang di i-Pasar. Masih minimnya target lelang ini karena minimnya gudang yang siap menampung.

Gudang di NTB sejauh ini hanya mampu menampung 3.200 ton. Yakni yang berada di Lombok Timur (Lotim) dan di Lembar Lombok Barat. “Kita intensif gunakan yang di Lotim,” ucap Dadih. Selama ini, proses lelang dengan media i-Pasar ini sudah acap kali dilakukan, Terakhir pada awal Agustus 2010 lalu, tercatat 520 ton dilelang.

Kepastian keuntungan lebih bagi petani ini tidak saja pada penjualan, dipastikan sebelum masuk proses lelang pun jagung-jagung petani sebagian besar bisa dibayarkan. Dimana, petani yang memasukkan jagungnya ke gudang serah akan mendapatkan i-Resi. Hal ini menjadi alat bukti bahwa petani sudah menyetorkan barang ke gudang. i-Resi itu dapat dicairkan 70 persen dari nilai barangnya sebelum proses lelang dilakukan.

Dadih menambahkan, ke depan akan ada proses lelang melalui Forward. Untuk kegiatan lelang ini, telah dilakukan kontrak dengan tiga gabungan kelompok tani (gapoktan), di Lotim, Lombok Utara dan KLU dan ada pengusaha yang siap membeli.

Pembangunan di Bidang Pertanian Tidak Ada yang Istimewa


GURU Besar Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram), Prof. Ir. H. Mansur Ma’shum, PhD., menilai selama dua tahun kepemimpinan TGH. M. Zainul Majdi, MA., dan Ir. H. Badrul Munir, MM., sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur tidak ada yang istimewa dan yang bisa dibanggakan dalam capaian pembangunan pertanian. “Kalau refleksi itu kan sebenarnya harus ada yang istimewa,” ungkapnya.

Sisa waktu yang tiga tahun terangnya menjadi waktu bagi Gubernur dan jajarannya untuk memingkatkan komitmen dan pembangunan dibidang pertanian. Dinilai, selama ini komunikasi antara Gubernur dengan Satuan Kinerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup pemerintah provinsi NTB dan dengan para peneliti dianggap kurang intensif.

Padahal, sempat Wagub memberikan kritik pada perguruan tinggi soal hasil-hasil penelitiannya. “Kalau kita sudah sampai inseminasi,” terang Mansur. Dituturkan, para peneliti Unram sudah melakukan penelitian cukup banyak. Antara lain, penelitian yang mampu menghemat air 56 persen di Sengkol dan Mujur Kabupaten Lombok Tengah (Loteng).

Teknologi tersebut sudah mendapatkan pengakuan ditingkat internasional. Pengakuan dari Australia, Bangladesh, Meksiko dan beberapa Negara lain. Yakni melalui penelitian itu mampu menghemat air untuk tanaman padi. Faktanya, dukungan pemerintah provinsi NTB sendiri tidak terlihat. “Kalau peneliti kan tidak punya uang,” imbuhnya.

Petani prinsipnya sangat tertarik mengaplikasikan hasil penelitian itu. Namun terbentur modal untuk membuat arsitek tanah seperti itu membuat petani tidak bisa berbuat banyak. Bicara bantuan perbankan cukup ribet dengan sebarek prosedurnya. “Keluhan petani itu telah disampaikan ke bank NTB. Direktur Bank NTB cukup merespon. Inilah namanya komunikasi,” ungkap Mansur.

Dibantah Mansur, terhadap kritikan dan masukan-masukannya kepada pemerintah provinsi ini tidak pernah ia komunikasikan langsung kepada Gubernur. Sampai sejauh ini tidak pernah ia dipanggil ataupun sengaja menghadap ke Gubernur untuk menkomunikasikan persoalan pertanian. Terlebih mengenai dugaan dirinya menyampaian usulan reshuffle SKPD rumpun hijau.

“Mansur Ma’shum tidak pernah komunikasi dengan Gubernur,” tegasnya. Ditanya pendapat apa perlu ada reshuffle para pembantu Gubernur, dengan terang dikatakan Mansur ia tidak punya kapasitas untuk bicara apa yang menjadi hak preogratif Gubernur tersebut.

Paling banyak diosoroti mantan Rektor Unram ini, adalah persoalan omprongan tembakau. Belasan ribu omprongan yang diminta beralih menggunakan bahan bakar batu bara dianggap harus terangkan betul-betul ke tengah masyarakat. Utamanya persoalan lingkungan dan dampak buruk terhadap kesehatan yang kemungkinan bisa terjadi.

Beberapa Negara maju, seperti Cina tutur Mansur sebenarnya sudah tidak lagi menggunakan batu bara. Hal itu dikarenakan dampak buruk terhadap lingkungan utamanua pada kesehatan manusia.

Kalau pemakaian skala industri besar, seperti PT. NNT yang cerobong asapnya di atas mungkin tidak menjadi persoalan. Namun pengomprong ini asapnya kemana-mana dan langsung ke masyarakat. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) aku Mansur sudah dihubungi dan mengaku sudah memikirkan hal itu. Namun, masih dipertanyakan apakah benar-benar sudah diteliti.

Sepengetahuan Mansur, secara nasional minyak tanah memang sudah mulai dikurangi. Namun ajakan menggunakan barra prinsipnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Asap yang dikeluarkan dari cerobongnya mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan. Mengandung mercury dan logam berat yang berbahaya.

Abu asap yang berterbangan ternyata mengandung partikel halus. Tidak tampak oleh mata telanjang. Partikel pun bisa mengganggu kesehatan. Lain lagi persoalan emisi karbon (CO2) yang keluar mencemarkan udara.

Kalau satu dua oven tembakau yang beroperasi mungkin tidak bermasalah. Namun kalau 13 ribu omprongan atau 10 persen saja maka, berapa emisi karbon yang beterbangan mengancam kesehatan manusia.

Harga Tomat “Sekarat” Biaya Pemeliharaan Lebih Tinggi dari Hasil Penjualan


Petani tomat di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) mengeluhkan harga tomat yang sangat rendah. Beberapa petani malah menilai, beberapa bulan terakhir ini harga tomat sedang sekarat. Perkilogramnya hanya dihargakan Rp 250.

SUHAIMI, seorang petani tomat Desa Tirtanadi Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur mengaku pusing dengan harga tomat. Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, harganya masih bisa membuat tersenyum.

Jika harga tomat tetap bertahan pada posisi Rp 250-500 maka petani tidak bisa apa-apa. Modal besar yang telah keluar ditambah tenaga dipastikan tidak bisa kembali. Disebutkan mulai dari harga bibit dengan merek Tombatu Rp 65 ribu perbungkus. Perbungkus hanya bisa satu are saja.

Jika dihitung perhektarnya, maka untuk keperluan bibit tomat Tombatu ini saja petani harus mengeluarkan Rp 650 ribu. Menanam jenis tomat ini, tidak bisa diatas tanah kosong. Namun butuh mulsa (penutup pematang). Perhektar harganya mencapai Rp 13 juta. Lain lagi untuk keperluan lain. Seperti kayu penyangga dari bambu yang juga harus dibeli, tali rapia dan obat-obatannya.

Bagi petani yang memiliki lahan yang luas bisa saja mensiasati dengan menanam jenis tanaman lain. Namun bagi Suhaimi yang memiliki lahan 5 are, penghasilan penjualan tomat jelas tidak akan cukup. Untuk modal awal di lahan seluas 5 are itu, mulsa butuh Rp 450 ribu, tali rapia untuk pengikat kayu butuh dana Rp 250 ribu.

Ditambah Rp 20 x 100 biji bambu menjadi tambah mahalnya modal yang harus dikeluarkan hanya untuk menanam tomat yang harganya tidak pernah ada perhatian dari pemerintah ini. Lain lagi keperluan biaya pemeliharaan. Mencabut rumput dan biaya ngompres dari serangan hama menggunakan obat dan pemupukan rutinnya.

“Kalau dihitung-hitung, harga tomat ini hanya mampu mengembalikan haga tali Rapia Rp 250 ribu,” ucap Suhaimi.

Fenomena harga komoditi pertanian seperti tidak pernah memihak petani ini adalah hal klasik yang tidak pernah dicari jalan keluarnya. Menurut Fihirudin, petani asal Desa Ijo Balit Kecamatan Labuhan Haji Lotim, petani ini tidak akan pernah sejahtera kalau perhatian pemerintah terhadap persoalan harga ini tetap saja seperti sekarang.

Bagi Fihir, persoalan mendasarnya adalah tidak adanya ketetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) bagi beberapa komoditi pertanian. Tidak diherankan katanya, petani terus mengeluhkan persoalan harga yang tidak pernah memihak pada petani. Diyakini, kalau ada HET, petani akan bisa mencatat dan menghitung sendiri kapan harus menanam komoditi ini dan komoditi yang lainnya.

Pola tanam petani saat ini diakui sesuai dengan hajat perut petani. Dimana, petani melihat berdasarkan harga komoditi mana yang paling laku dipasar. Ketika produksi melonjak naik, petani menjerit harga berpikir lebih baik membuang hasil pertanian dari pada dijual dengan harga yang menyakitkan.

Fakta terhadap keluhan petani itu, seperti membenarkan temuan Badan Pusat Statistik (BPS) NTB tentang Nilai Tukar Petani (NTP). Dimana, gambaran atas daya beli petani dan tingkat kesejahteraan petani ini kerap dibawah standar kesejahteraan. Biaya hidup petani selalu lebih mahal dibandigkan dengan hasil produksinya.

Biaya membeli pupuk, biaya membeli pestisida, biaya mencabut rumput ditambah rasa capek dibawah terik mentari yang tiap hari menyengat hingga warna kulit menyamai tanah jauh lebih mahal dari hasil karingat yang diteima. Apakah petani tetap seperti ini?? Semoga ada perubahan bagi kehidupan mereka yang memberi makan secara tidak langsung Presiden, Gubernur, Bupati dan para penentu kebijakan dan pencari solusi terhadap masalah rakyat yang dipimpinnya.

Saturday, July 24, 2010

Jadikan Berugak Tempat “Ngerumpi” yang Lebih Bermakna

Secara historis, masyarakat NTB, khususnya Lombok memiliki tradisi ngobrol. Masyarakat pedesan khususnya kerap kita lihat kumpul, ngerumpi. Tempat yang paling disenengi adalah gerdu (berugak). Selama ini kebiasaan ngerumpi dilakukan masyarakat pedesaan terkesan kurang bermakna.

SADAR akan potensi masyarakat itu, Desa Kekeri Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat (Lobar) menggali dan memanfaatkanya. Jadikan media berugak sebagai tempat ngerumpi yang lebih bermakna.

Kepala Desa (Kades) Kekeri, Hafizin, AMd., menuturkan, pada mulanya kegiatan pembangunan di desanya hanya mengandalkan uluran tangan pemerintah. Tidak ada partisipasi dari masyarakat. Utamanya para ibu-ibu yang memiliki kebiasaan ngobrolin orang.

Hafizin yang ditemui di sela acara berbagi pembelajaran bersama berbagi pembelajaran program Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCES) yang digelar di Hotel Lombok Raya Mataram, Rabu (30/6) kemarin. Dikatakan masuknya program ACCESmenawarkan gerdu cerdas dirasakan sudah banyak perubahan signifikan yang bisa dirasakan. Antara lain, para ibu-ibu saat ini cukup bersemangat dalam setiap agenda pembangunan.

Manfaat berugak yang selama ini hanya sebagai hiasan sudah dijadikan central pengaduan. Semua orang yang meminta bantuan bisa mengadukan keluhannya di berugak (gerdu cerdas) tersebut.

Persoalan mendasar di Desa Kekeri biasanya sangat kesulitan mengumpulkan ibu-ibu saat ini sudah dirasa tidak lagi. Digerdu itulah lahir hasrat dan keinginan yang coba disalurkan dan dicari jalan keluarnya. Saat ini pun telah ada proses kaderisasi yang melahirkan generasi penerus, para remaja yang terlihat sangat bersemangat dan kompak.

Kegiatan gotong royong yang sempat terpendam kembali bisa dihidupkan. Untuk mendukung kegiatan, jelas ada dukungan penganggaran. Pemerintah sendiri saat ini dirasa tidak kesulitan dengan kesadaran yang telah terbangun dari masyarakat.

Selanjutnya, Sekretaris Jendral (Sekjen) Jaringan Masyarakat Sipil (JMS), Tommy, menyampaikan keberadaan berugak yang sudah mengakar dalam budaya Indonesia bisa dijadikan ruang pembangunan. Tidak sebatas dijadikan pos jaga.

Coba diredefinisikan Tommy, bahwa keberadaan berugak selama ini tidak tidak saja berfungsi sebagai central militer seperti masa lalu. Namun lebih dari itu, ada fungsi sosial yang terkandung. Kepemilikan berugak, siapapun yang membangunnya tidak secara ekslusif murni milik orang yang membangun. Namun milik semua pihak.

Peralihan dari fungsi militer ke fungsi sosial ini dirasa cukup menarik. Peran itulah yang dirasa cukup bagus dan diambil ACCES untuk dimanfaatkan sebagai media pembangunan. Ajak masyarakat untuk turut berpartisipasi membangun pendidikan, menata kekurangan dalam setiak kegiatan pembangunan.

Selama ini dinilai Tommy, kegiatan membangun kurang melibatkan masyarakat. Dinilai ada perlawanan terhadap kebiasaan masyarakat ngerumpi tersebut. Dimana, kalau bicara pendidikan diarahkan cukup disekolah, bicara kesehatan cukup di dinas kesehatan dan sejenisnya. Sekjen JMS ini, kebiasaan masyarakat tersebut harus dimanfaatkan. Belajar diberugak sambil ngobrol santai.

Dikritik Tommy gerakan 3A (Akino-Absano-Adono) yang mengarahkan ke tempat-tempat lain. Tidak memanfaatkan berugak sebagai tempat yang biasa dikerumuni warga. “Kita punya tradisi untuk saling berbagi,” cakapnya. Bicara politik, bicara pendidikan, dan bicara hal-hal lainnya sangat pantas dan cukup mengena bicarakan juga di berugak. Hilangkan pikiran, kalau bicara politik, adalah obrolan berat. Manfaatkan budaya dan tradisi ngerumpi di berugak sebagai media untuk membicarakan, merencanakan kegiatan pembangunan menuju masyarakat yang lebih maju.

Friday, July 23, 2010

100 products processed from raw coconut

PROF. Ir. H. Sunarpi, PhD., Mentioning one of the forgotten great potential is the coconut. A professor from the University of Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Bambang S., he has created 100 products processed from raw coconut. Among others, Virgin Coconut Oil (VCO) or virgin oil, nata decoco, liquid smoke. Special liquid smoke, he added is one of its product can be used as food preservatives. Instead of using preservatives that are harmful to the food, Sunarpi would recommend using a natural food preservative that. In addition, many coconuts that have the potential high economic value. Previously, assessed Sunarpi, there are less fit than the efforts of certain parties who have disparaged the preparations of coconut products. Though not the case. "We've been fed by the poor image of the palm, such as cholesterol and other hazards. As a result of our society so afraid, "he said. Though not so, the potential for a lot of oil on earth thrives gora processed products can be developed in various forms.

Keep in mind, advanced replacement Prof. Ir. H. Mansur Ma'shum, PhD Unram Rector of this, not only human resource that should be improved. Niaganya governance system must be prepared. And do not forget, the capital for entrepreneurs. "Is where the need for a touch of the bureaucracy," according Sunarpi. In general, recognized Sunarpi savior when the food crisis is even a financial crisis which had hit. But so far, prospective students alumni perceived less interested in his own farm agriculture business that. Although recognized as a savior, but felt less so loved by the graduates who already have academic provision. "Resistance during the crisis, it's saved by agriculture. But do not realize that agriculture is a savior, "said the rector of this. It is unfortunate, for these alumni to pursue opportunities so impressed only Civil Servants (PNS). In fact, if you already have the academic capital, believed to be able to explore the potential of Natural Resources (SDA) which is believed to be able to give great added value.

Admittedly, so far not seen many entrepreneurs who are developing crops that. This was seen when only the traditional businessman who has not seen development. In fact, if cultivated, especially talk of refined food has a huge potential to bring added value. Sunarpi know, the provincial government (provincial) menggaungkan NTB is one of the strategic programs of agribusiness. Rector Unram strongly supported this because considering the enormous potential to improve the economic level of society. Except for local food in agricultural products is hampered product durability.'s Products and hortikukltura food for small entrepreneurs who have no capital will certainly survive. "If you score less wilted," he said. Necessary capital assistance for small entrepreneurs. The industries that developed recommended prefer the commodity itself. Rather than import the commodity.

“Warige" Climate Prediction with Sasak Community

PARTIAL Sasak people turned out to have a separate system in predicting things. Including predictions of climate. Local wisdom is named, warige. Climate forecasting system that is evolving for a long time among the Sasak Lombok community. In view of the Sasak people, the majority Muslims, this warige reference in any calendar month Qomariyah use. Explained researcher at the Center for Water Resources and Agro-climate Research (PUSLISDA) University of Mataram (UNRAM), Ir. Ismail Yasin, MSc. using Warige system can be known when the rain come down heavy, normal and a little rain.

Determination Warige assessed by Sasak and grow in the community after the study has a high degree of accuracy. "Accuracy reaches 70 percent," he said. The way to know it by looking at the rain intensity at the date when tumbuk (over-head sun). The date on which the sun as a source of heat in the earth just above the head. When checked scientifically, it turns out in months of ad on the island of Lombok, especially mashed occurred on October 15. Where, Lombok is located in south latitude 8035I each year was always going mashed dated October 15.

Counting warige torrential monsoon intensity, moderate and normal visits to date on the moon qamariyah mashed. Known, between AD and Qamariyah month is different, if it was mashed Qamariyah 6 months, the rainfall is quite high. Furthermore, if there are mashed Qamariyah 16th month, the normal rainfall, about 1500 mm3 per year. Finally, if mashed occurred on 26 then low rainfall. This is evident, as noted in the year 2009 and then, there has been mashed so it looks relatively low rainfall. With this warige, the nature of the rain. Are known, the party or do not smell much nyale obtained.

"Our parents actually have very ideology these climatic conditions," said Ismail. To forecast with warige, continued during the last two years are always right. Meanwhile, if the climate anomalies associated with Ismail denied if current climate conditions look bad and distorted. Changes that occur when this is only the form of climate variations that occurred in recent years. Indeed, is not free from the influence of global warming. There was el nino (dry season) and la nina (wet season).

Where, if anomalies occur in decades, while this only happens when the time change on rainfall. Within warige, the rain continued to fall until next November. "2010 is quite normal rainfall," he added. Agustus-September to October is usually dry, but for year 2010 is still found in the rain. Dry season, predicted to occur next year 2011.

Prof. Ir. H. Mansur Ma'shum PhD., Adding local wisdom (local wisdom) that existed at the Sasak people mostly taken from old books. There is book 12 stars, tajul grandiose and several other reference books. Delivered, the determination of this season in every area there. In Java, known as Maco mongso. Only the former rector Unram recognized this, local wisdom began to be forgotten.

For his part, tried to lift the local wisdom into scientific studies. Results of scientific studies with the local wisdom that can be collaborated and there is no disagreement. No conflict was recognized analyst of Meteorology, Climatology and Geophysics (BMKG), Aldi Rifaldy. Lack of local wisdom that only the data. Differences with BMKG for the support of data and technology.

“Warige” Ramalan Iklim ala Orang Sasak

SEBAGIAN orang Sasak ternyata memiliki sistem tersendiri dalam meramalkan sesuatu. Termasuk ramalan terhadap iklim. Kearifan lokal itu dinamai, warige. Yakni sistem peramalan iklim yang berkembang sejak lama dikalangan masyarkat Sasak Lombok. Mengingat masyarakat sasak ini mayoritas muslim, acuan penanggalan dalam warige ini pun menggunakan bulan Qomariyah.

Dijelaskan peneliti di Pusat Penelitian Sumberdaya Air dan Agroklimat (PUSLISDA) Universitas Mataram (Unram), Ir. Ismail Yasin, MSc. dengan menggunakan sistem Warige dapat diketahui kapan hujan turun lebat, normal dan sedikit hujan.

Penentuan dengan cara Warige dinilai berkembang di masyarakat Sasak dan setelah diteliti memiliki tingkat keakuratan tinggi. “Akurasinya mencapai 70 persen,” ucapnya. Adapun cara mengetahui intensitas hujan itu dengan melihat tanggal terjadinya tumbuk (over head sun). yakni, tanggal dimana sang Surya sebagai sumber panas di bumi persis berada diatas kepala.

Ketika dicek secara ilmiah, ternyata dalam bulan Masehi tumbuk di pulau Lombok khususnya terjadi pada tanggal 15 Oktober. Dimana, Lombok yang berada di 8035I Lintang Selatan (LS) setiap tahunnya selalu terjadi tumbuk tanggal 15 Oktober.

Menghitung warige musim hujan intensitasnya lebat, sedang dan normal dilihat pada tanggal tumbuk di bulan qamariyah. Diketahui, antara bulan Masehi dan Qamariyah ini berbeda, jika tumbuk itu terjaditanggal 6 bulan Qamariyah, maka curah hujan cukup tinggi. Selanjutnya, jika terjadi tumbuk tanggal 16 dibulan Qamariyah, maka hujan normal, yakni sekitar 1.500 mm3 pertahun.

Terakhir, jika tumbuk terjadi pada tanggal 26 maka curah hujan rendah. Hal ini terbukti, saat diperhatikan di tahun 2009 lalu, terjadi tumbuk sehingga terlihat curah hujan relatif rendah. Dengan warige ini, sifat hujan. Dapat diketahui, pesta bau nyale banyak atau tidak nyale yang diperoleh.

“Orang tua kita sebenarnya sudah sangat faham kondisi iklim ini,” ucap Ismail. Terhadap ramalan dengan warige, lanjutnya selama dua tahun terakhir selalu tepat.

Sementara, jika dikaitkan dengan anomali iklim dibantah Ismail kalau kondisi iklim saat ini terlihat parah dan menyimpang. Perubahan yang terjadi saat ini hanyalah bentuk dari variasi iklim yang terjadi beberapa tahun terakhir. Memang, tidak lepas dari adanya pengaruh global warming.

Terjadi el nino (musim kering) dan la nina (musim basah). Dimana, kalau anomali terjadi dalam puluhan tahun, sementara yang terjadi saat ini hanya perubahan waktu turunnya hujan. Dalam hitungan warige, hujan terus akan turun hingga Nopember mendatang. “2010 ini hujan cukup normal,” imbuhnya. Agustus-September-Oktober memang biasanya kering, namun untuh tahun 2010 ini masih ditemukan hujan. Musim kemarau, diprediksi akan terjadi tahun 2011 mendatang.

Prof. Ir. H. Mansur Ma’shum PhD., menambahkan local wisdom (kearifan lokal) yang ada pada masyarakat sasak sebagian besar diambil dari kitab-kitab dulu. Ada disebut kitab bintang 12, tajul muluk dan beberapa kitab rujukan lainnya.

Disampaikan, penentuan musim ini disetiap daerah itu ada. Di Jawa dikenal dengan sebutan pranoto mongso. Hanya saja diakui mantan rektor Unram ini, kearifan lokal itu mulai terlupakan. Pihaknya, coba mengangkat kearifan lokal itu ke dalam kajian ilmiah. Hasil kajian ilmiah dengan kearifan lokal itu bisa dikolaborasikan dan tidak terjadi pertentangan.

Tidak adanya pertentangan itu diakui analis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Aldi Rifaldy. Kekurangan local wisdom itu hanya pada data. Beda dengan BMKG dengan dukungan data dan teknologi. (rus)

Thursday, July 22, 2010

Guru Malas Buat Karya Tulis Ilmiah

RIBUAN guru yang ada di Kota Mataram, hanya sebagian kecil guru yang memiliki minat membuat karya tulis ilmiah (KTI). Hal itu terlihat dari sejauh ini sebagian besar guru tidak naik pangkat. Sepanjang sejarah keberadaan guru di Kota Mataram, tidak pernah ada guru yang meraih pangkat IVE sebagai pangkat tertinggi.

“Pangkat IV D pun belum ada sampai sekarang,” ungkap Plt Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Kota Mataram, Ruslan Efendi. Ia mengatakan pangkat tertinggi guru se kota Mataram sampai saat ini hanya IV C. “Bahkan yang sampai IV B pun kurang dari 50 orang,” imbuhnya.

Minimnya peminat guru membuat KTI itu menjadi alas pemicu belum adanya guru-guru di Ibu Kota Provinsi ini belum ada yang sampai pangkat ideal itu. Sejauh ini, disadari guru dianggap belum terbiasa menulis.

Jauh hari, sudah disadari kekurangan para guru tersebut. Berbagai upaya menumbuhkembangkan minat guru sudah dilakukan. Terhitung sejak tahun 2003 lalu sudah mulai dilakukan pelatihan KTI. Bahkan selain pelatihan, ada pembimbingan dari para pakar untuk membuat KTI.

Peserta telah diundang mengikuti pelatihan selama tiga hari, selanjutnya dibimbing menyusun dan mengajukan proposal penelitian. Letak kesulitan para guru selama ini memulai proses penulis. Meski sudah dilibatkan para pakar untuk mendampingi, namun sejauh ini belum banyak terlihat KTI yang dituangkan para guru.

Obyek penelitian para guru antara lain Class Room Action Research (CRAR) atau penelitian tindakan kelas. Penelitian terhadap proses pembelajaran ini semestinya dapat disadari oleh para penulis. Terlebih bisa memberikan nilai tambah atas poin guru untuk kenaikan pangkat.

Sebenarnya ada sanksi bagi guru yang tidak naik pangkat. Ada ancaman memberikan sanksi pemecatan. Namun, sejauh ini sanksi itu belum pernah dilakukan. Sehingga meski dalam belasan tahun tidak ada kenaikan pangkat seperti dibiarkan saja oleh pemerintah. Karena memang hal ini terjadi secara nasional. Jika sanksi diberikan, tentu akan berdampak besar. Terlebih selama ini masih kekurangan guru.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) NTB, Drs. H. Ali A. Rahim membantah kalau sebagian besar guru tidak memiliki minat untuk menulis karya tulis ilmiah. Menurut Ali, guru pada prinsipnya memiliki minat yang besar. Hanya saja terkendala waktu. Guru terlalu disibukkan dengan urusan sekolah sehingga tidak punya kesempatan banyak untuk menulis.

Ketua PGRI NTB membantah kalau dikatakan para guru malas. Diakuinya, ada kelemahan guru dalam menulis. Ketua organisasi profesi guru ini menuturkan telah mempersiapkan pemberian kemampuan teknis menulis pada guru. Melakukan kegiatan diklat pengembangan profesi para guru. “Ini salah satu cara kita agar teman-teman guru mau menulis,” ucapnya.

Selama tiga bulan berturut-turut pernah beberapa orang guru diberikan pelatihan secara bertahap. “Tinggal pengembangannya dilapangan sebenarnya,” ucapnya.

Menulis sebuah karya ilmiah akunya merupakan pra syarat jenjang pangkat seorang guru. Saat ini fokus pada pengembangan peningkatan kemampuan teknis para guru terus dilakukan. Utamanya menulis karya ilmiah yang merupakan hasil penelitian terhadap tindakan kelas.

Di NTB, telah ada tim khusus yang telah menangani persoalan ini. Para peserta langsung diajak dan belajar menulis. Meneliti tindakan kelas yang selanjutnya disuguhkan dalam sebuah karya tulis ilmiah. Guru-guru yang menjadi penulis kreatif akunya belum banyak di NTB. Namun upaya menuju ke arah sana terus dilakukan.

Seorang guru yang telah banyak menulis karya ilmiah dan kerap meraih juara di tingkat nasional, yakni Dra. Hamimatussa’diyah diajak PGRI untuk mengembangkan bakat-bakat menuilis para guru yang lain. Berikan rangsangan kepada para guru, bangkitkan semangat dan motivasi menulis.

Tegas Ali nyatakan, guru sama sekali tidak malas. Hanya saja kesibukan yang selama ini menggeluti waktu guru membuat guru kesulitan. “Insya Allah semua guru di NTB tidak ada yang tidak bisa menulis,” imbuhnya.

Ditambahkan, dari puluhan ribu guru yang ada di NTB, sebanyak 400 orang sudah mulai menulis. Diakui, karya tulis ilmiah ini memang menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat guru. Terus diberikan pemahaman dan dibina agar bisa menulis sedikitnya tiga karya tulis ilmiah dalam dua tahun supaya bisa naik pangkat.

Kalahkan Perguruan Tinggi Pungutan di SMA Rp 1,49 Miliar

Ketua Komite SMAN 1 Mataram, Prof. Ir. H. Mansur Ma’shum, PhD., Senin (19/7) kemarin buka-bukaan soal dana pungutan yang dilakukan komite sekolah terhadap orang tua. Nilainya cukup fantastic, mencapai Rp 1,49 miliar lebih. Jumlah itu, merupakan hasil hitungan kebutuhan belanja sekolah dalam periode tahun ajaran 2010/2011 ini.

Pemaparan itu disampaikan Mantan Rektor Universitas Mataram (Unram) itu pada wartawan di ruang Kepala Sekolah (Kepsek) SMAN 1 Mataram. Didampingi Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Bidang Kesiswaan, Sutardi, SPd., Mansur Ma’shum menyebutkan, semua anggaran senilai Rp 1,49 miliar tersebut berasal dari para orang tua.

Namun dengan tegas disampaikan, pemungutan dilakukan setelah siswa masuk. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah mufakat bersama semua anggota komite sekolah. Antara lain, dana tersebut diperoleh dengan kesepakatan untuk kelas 10 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di patok Rp 225 ribu perbulan, kelas akselerasi Rp 325 ribu perbulan.

Untuk yang pertama kali masuk dibebankan Rp 3,5 juta. Ditambahkan, untuk kelas 11 RSBI Rp 200 ribu perbulan dan kelas akselerasi Rp 300 ribu perbulan. Kelas 12 RSBI Rp 160 ribu perbulan dan regular Rp 110 ribu perbulan. Setiap awal tahun, diminta menyumbang juga Rp 1,4 juta untuk ortu siswa kelas 11 RSBI dan Rp 800 ribu untuk kelas 11 reguler. “Bagi yang punya dua atau lebih anak dibebakan bayar satu orang,” sebutnya.

Adanya bantuan dari pemerintah tegasnya tidak bisa membantu mengembangkan pendidikan di SMAN 1 Mataram ini. Sebab, dana dari pemerintah jelas tidak cukup untuk mengembangkan biaya pendidikan yang begitu mahal. Tidak heran akunya, SMA jauh lebih mahal dari perguruan tinggi. Terlebih, tidak ada dana seperti DAK/DAU masuk ke SMA. “Jadi mau tidak mau,” ucapnya.

Diterangkan, dana yang dipungut dari para orang tua itu diisi dengan beragam kegiatan dan program pengembangan anak. Membelikan fasilitas alat musik, pembangunan aula, pembangunan mushalla, fasilitas olahraga serta pengadaan jaringan internet. Selain itu, semua sekolah dipastikan ada AC yang membuat anak-anak nyaman belajar.

Dalam setiap pengambilan keputusan melakukan pungutan, lanjut Mansur selalu melibatkan ortu. Diakuinya, tidak ada anaknya yang sekolah di SMAN 1 Mataram. Namun dirinya dipercaya untuk membantu setiap program dan telah melaksanakan tugas komiter sebaik-baiknya. Adanya sebutan komite abadi katanya karena sebagian besar komite itu beralih dari sebutan awalnya dulu, bernama BP3.

Selanjutnya, terkait bantuan dari pemerintah itu, disampaikan Sutardi. Dimana Nilainya katanya setahun Rp 102 juta. Angka itu katanya tidak mampu memenuhi operasional dan keperluan lainnya.

Antara lain untuk bayar tagihan listrik saja sebulan bisa mencapai Rp 5-6 juta. Tagihan internet Rp 4 juta. Lain lagi untuk pengadaan fasilitas lainnya, berupa ATK dan lainnya. Sementara dari dana pemerintah Rp 1,3 juta dipatok untuk pembayaran listrik itupun dalam jangka tiga bulan. (rus)

Komoditi Terlupakan Itu Bisa Hasilkan 100 Produk Olahan

PROF. Ir. H. Sunarpi, PhD., menyebutkan salah satu potensi besar yang terlupakan adalah kelapa. Seorang guru besar dari Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Bambang S., katanya telah menciptakan 100 produk olahan dari bahan baku kelapa. Antara lain Virgin Coconut Oil (VCO) atau minyak perawan, nata decoco, asap cair.

Khusus asap cair, lanjutnya merupakan salah satu hasil olahan yang dapat dijadikan sebagai bahan pengawet makanan. Daripada menggunakan bahan pengawet yang berbahaya bagi pada makanan, Sunarpi lebih menganjurkan menggunakan bahan pengawet makanan alami itu.

Selain itu, banyak potensi kelapa yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sebelumnya, dinilai Sunarpi, ada upaya yang kurang pas dari pihak tertentu yang telah menjelek-jelekkan produk olahan dari kelapa. Padahal tidak demikian. “Kita selama ini dicekoki oleh image yang buruk terhadap kelapa, seperti bahaya kolestrol dan lainnya. Akibatnya masyarakat kita jadi takut,” sebutnya. Padahal tidak begitu, potensi kelapa yang banyak tumbuh subur di bumi gora ini bisa dikembangkan produk olahannya dalam berbagai bentuk.

Perlu diingat, lanjut pengganti Prof. Ir. H. Mansur Ma’shum, PhD menjadi Rektor Unram ini, tidak hanya SDM yang harus ditingkatkan. Sistem tata niaganya harus dipersiapkan. Serta tidak lupa, modal bagi pelaku usaha. “Disitulah perlunya sentuhan dari birokrasi,” demikian Sunarpi.

Secara umum, diakui Sunarpi adalah penyelamat saat krisis pangan bahkan krisis moneter yang pernah melanda. Namun sejauh ini, calon mahasiswa alumni pertanian dirasakan kurang meminati sendiri bisnis bidang pertanian itu. Meski diakui sebagai penyelamat, namun dirasa kurang begitu digandrungi oleh para lulusan yang sudah memiliki bekal akademis itu.

“Resistensi krisis selama ini kan diselamatkan oleh pertanian. Tapi tidak disadari bahwa pertanian itu sebagai penyelamat,” ucap Rektor ini.

Sangat disayangkan, selama ini para alumni terkesan hanya mengejar peluang jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal, kalau sudah memiliki modal akademik, diyakini bisa menggali potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang diyakini bisa memberikan nilai tambah yang besar itu.

Diakui, sejauh ini belum banyak terlihat pengusaha yang mengembangkan hasil bumi itu. Terlihat saat ini hanya pengusaha tradisional yang belum terlihat perkembangannya. Padahal, kalau digeluti, terlebih bicara hasil olahan pangan memiliki potensi yang sangat besar mendatangkan nilai tambah.

Sunarpi mengetahui, pemerintah provinsi (pemprov) NTB menggaungkan salah satu program strategisnya adalah agrobisnis. Sangat didukung Rektor Unram ini karena mengingat potensi besar meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat. Hanya saja, untuk pangan lokal hasil-hasil pertanian ini terkenda daya tahan produk.

Produk-produk pangan dan hortikukltura bagi pengusaha kecil yang tidak memiliki modal jelas akan bisa bertahan. “Kalau sudah layu kan nilainya kurang,” sebutnya. Perlu bantuan modal bagi pengusaha kecil. Adapun industri-industri yang dikembangkan disarankan lebih mengutamakan komoditi sendiri. Daripada komoditi impor.

Friday, July 16, 2010

Tertibkan Tanah Terlantar BPN Siap Berikan Tindakan Represif

Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) NTB membantah kalau selama ini tidak tegas, terhadap upaya penertiban tanah terlantar di NTB. BPN bahkan telah mempersiapkan panitia khusus, penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Disebut BPN dengan istilah panitia C. Dipastikan, jajaran BPN siap memberikan tindakan represif terhadap belasan ribu hektar tanah yang telah diindikasikan terlantar.

Penegasan itu disampaikan Tim Panitia Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, BPN NTB, Jaka Pramono, SP. Menjawab Suara NTB di ruang kerjanya, Kamis (8/7) kemarin, saat ini BPN sudah memiliki senjata berupa aturan hukum terbaru, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2010.

Pengganti PP 36 tahun 1998 itu dipastikan akan tegas terhadap tanah terlantar. Termaktub dalam PP 11/2010 tersebut, dalam jangka tiga tahun setelah mendapat hak tidak juga di realisasikan maka tanah bisa diindikasikan terlantar. Terhadapnya, siap akan diberikan tindakan penertiban secara paksa. Terlebih BPN sendiri telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) PP 11/2010 yang tertuang dalam Ketetapan Kepala BPN Nomor 4/2010.

2010 Empat Badan Hukum

Belum terlihat ada yang dieksekusi penertibannya karena aturan tegas soal penertiban baru dikantongi BPN. “Aturan PP 11/2010 ini kan baru April lalu di berlakukan,” ungkapnya. Menyikapi hal itu, BPN sudah langsung mengambil tindakan. Dimana, untuk NTB tahun 2010 ini ada empat badan hukum yang akan ditertibkan lahan yang diterlantarkan.

Joko menyebutkan, hasil validasi data terakhir BPN, tercatat 17.144 ha lahan yang diindikasikan terlantar. Belasan ribu ha lahan tersebut dikuasai 80 lembaga atau badan hukum. Masing-masing 46 badan hukum yang memegang sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), 23 badan hukum yang memegang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), 2 badan hukum yang memegang sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL), pemegang sertifikat Hak Pakai 3 badan hukum dan yang belum mengantongi sertifikat ada 6 badan hukum.

Pelaksanaan penertiban terhadap semua badan hukum itu tidak serta merta asal main copot saja. Namun perlu proses dan sangat berhati-hati. “Tahun 2010 bisanya hanya empat badan hukum, semuanya HGU, karena DIPA-nya cuma segitu,” ucapnya. Ditanya, badan hukum mana saja? Pihak BPN sengaja menyembunyikan dulu. “Secara normatif kita tidak diperkenankan dulu menyebutnya,” ucapnya.

Pada prinsipnya, BPN juga tidak menginginkan adanya tanah terlantar. Namun karena faktanya demikian, maka BPN dipastikan siap akan memberikan tindakan penertiban. Tidak saja pada empat badan hukum, tahun 2011 mendatang dana yang dialokasikan bisa lebih besar. “Bisa saja kita akan gerus semua,” ucapnya.

Proses penertiban lanjutnya jelas akan dilakukan BPN secara bertahap. Terlebih dalam proses penertiban ini ada beberapa pertimbangan secara matang dilakukan sebelum eksekusi dilaksanakan. Tidak diinginkan BPN, ketidakhati-hatian BPN membuat masalah baru dalam proses penertiban ini.

Upaya penertiban tanah terlantar dinyatakan banyak hal yang harus menjadi pertimbangannya. Pertimbangan hukum, politik dan sosial budaya. Pastinya, BPN tidak akan setengah hati dalam penertiban tanah terlantar ini. BPN akan serius.

Gaji Guru Terlalu Gemuk Politik Anggaran Pendidikan Harus Dikaji Ulang

PEMERHATI Pendidikan dari Universitas Mataram, Dr. H. Rusdiawan., menyebutkan dengan adanya sertifikasi guru membuat gaji guru cukup gemuk. Sementara, dampak dari sertifikasi itu agar mutu pendidikan NTB pada khususnya dapat ditingkatkan sampai saat ini belum terlihat. Melihat fakta itu, disarankan Rusdiawan politik anggaran pendidikan ini harus dikaji ulang.

Hal itu disampaikan Rusdiawan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN khususnya sebagian besar diperuntukkan untuk mengadakan sertifikasi guru. Nilainya sangat jauh dibandingkan dengan total peningkatan infrastruktur lain.

Untuk bayar gaji guru dibandingkan dengan yang lainnya dalam pembangunan pendidikan berbanding 70:30 persen. Artinya, belanja pegawai guru dirasa Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unram ini jauh lebih besar dibandingkan belanja public.

Hal ini dianggap Rusdiawan cukup berbahaya jika tidak diperhatikan. Terlebih 70 persen uang negara untuk bayar gaji guru yang rata-rata Rp 4-5 juta ini tidak diikuti dengan upaya guru meningkatkan mutu pengajarannya.

Pengamatan Rusdiawan, tidak sedikit guru dan dosen yang telah mendapatkan sertifikasi justru jadi pemalas. Penuturan di beberapa sekolah juga katanya, guru sertifikasi yang sudah menerima tunjangan menyerahkan tugas dan beban mengajarnya pada guru-guru honor. Sementara mereka hanya ongkang-ongkang kaki.

Perkembangan pendidikan, khususnya di NTB dinilainya sangat lambat. Hal itu tidak lepas dari ketimpangan anggaran etrsebut. Dimana, sehebat apapun juga guru jika tidak didukung dengan upaya peningkatan sarana dan prasarana maka akan sangat berbahaya. Menurut Rusdiawan juga selama ini tidak ada korelasi ternyata antara mengadakan sertifikasi dengan peningkatan mutu pendidikan itu.

Besarnya anggaran pendidikan untuk guru dari pemerintah pusat semestinya dapat diimbangi oleh pemerintah daerah (pemda). Jajaran pemda harus bisa mengambil peran . “Disinilah makna otonomi juga semestinta digunakan,” ucapnya. Perhatikan politik anggaran yang di pemkab.

Rusdiawan mengakui ada guru yang ideal dan rajin dan ada guru yang malas. Adanya guru yang malas kerap membuat iri guru yang semula ideal dan rajin. Berpikir gaji sama saja dengan yang malas sehingga ikut-ikutan malas. Dampak buruknya bagi dunia pendidikan.

Dikritik Dekan FKIP Unram ini, selama ini tergambar jelas hanya gaji yang meningkat. Sementara mutu pendidikan tidak kunjung meningkat. Gaji guru yang cukup besar ini sangat jauh jika dibandingkan dengan tenaga administrasi meski masuknya dari pagi sampai sore dan tiap hari. Berbeda dengan guru yang banyak sekali liburnya, namun meski demikian masih saja terus menuntut untuk ditingkatkan kesejahteraannya.

Ratusan Ribu Hektar Lahan Kritis NTB Belum Mampu Disentuh Gerhan

Seluas 160 ribu hektar (ha) lahan kritis yang ada di NTB belum mampu disentuh gerakan penghijauan (gerhan). Dimana, gerhan yang polanya semenjak tahun 2006 lalu berubah untuk NTB hanya mampu menyentuh 9.800 ha. Itupun belum semuanya terlihat berhasil.

Disampaikan Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) NTB, Ir. Hartina, MM., guna mengejar proses penyelamatan lahan kritis tersebut yang diandalkan tidak saja gerhan yang polanya melalui proses tender.

Pola-pola lainnya, seperti melibatkan masyarakat dan pihak swasta terhadap reboisasi ini terus digalakkan. Siapa yang mau menanam diberikan. Untuk tahun 2010, sebut Hartina, ditargetkan bisa menanam 50 ribu ha. “Ini adalah MoU Dinas Kehutanan dengan Gubernur,” tegasnya.

Mencapai target itu, pihaknya tidak berhenti mendesak pusat agar ada bantuan untuk perbaikan lahan-lahan kritis yang ada di NTB. Disyukuri, trembesi dapat 1 juta benih untuk dikembangkan, lainnya ada bantuan dari kementerian kehutanan membentuk kebun bibit rakyat (KBR). Melalui KBR ini saja diharapkan sekitar 12 juta pohon bisa ditanam.

“Kita coba rebut peluang-peluang di Kemenhut, dan KBR ini kita rata-ratakan memperoleh 2 unit perkecamatan dengan rata-rata 100 pohon,” sebutnya.

Selanjutnya, terkait dengan gerhan dituturkan Hartina, pemerintah terhitung sejak tahun 2004 silam pemerintah tidak lagi melakukan penanaman sendiri. Jumlah lahan yang kritis itu ditender proses gerhannya, mulai dari pembenihan, penanaman hingga proses perawatan dalam beberapa tahun berjalan dilakukan proses tender.

Khusus NTB, tender dilakukan pada luasan 9.800 ha tersebut, dimana ribuan ha lahan itu diikuti 29 perusahaan. Melalui proses tender inilah dipastikan uang Negara jauh lebih bisa diselamatkan. Pasalnya, proses pembayaran dilakukan pemerintah setelah proses penanaman dan melihat hasil. Jika perusahaan yang melakukan tender terlihat tidak berhasil, maka bisa tidak dibayarkan.

“Itulah sanksinya baru perusahaan,” tegas Hartina. Dimisalkan Kadishut NTB ini, perusahaan yang mengelola 350 hektar lahan yang terbagi dalam 14 petak dan terlihat berhasil hanya 3 petak, maka yang dibayarkan hanya 3 petak itu saja. “Sisanya 11 petak itu tersimpan uang Negara,” ucapnya.

Meski demikian, terhadap perusahaan tetap diingatkan jajaran kehutanan agar memperhatikan pemeliharaan tanamannya

Khawatir Monopoli Investor Tidak Diperkenankan Kelola TNGR

Kepala Balai taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Syihabuddin, menyatakan pihaknya tidak memperkenankan investor masuk mengelola TNGR. Meski dijanjikan akan dikelola lebih baik dari sekarang, Kepala TNGR ini tetap bersikukuh tidak mau menjual TNGR ke tangan investor karena dikhawatirkan akan dinomopoli pengelolaannya oleh investor.

“Banyak sudah yang menawarkan diri mau masuk,” Kepala TNGR itu. Ia menilai pemanfaatan TNGR seperti sekarang ini jauh lebih baik daripada dengan mendatangkan investor.

Jika investor yang mengelola, maka segala kegiatan TNGR dimonopoli oleh investor. Porter, guide dan lainnya yang mencoba mengais rezeki dari tracking gunung rinjani khawatirnya hilang mata pecaharian mereka. Pasalnya, investor sebagian besar akan memilih dan menentukan sendiri tenaga yang digunakan.

Berdasarkan pengalaman di beberapa taman nasional, sebut Syihabuddin kekhawatirannya terjadi. Seperti taman nasional Gunung Tengger Jawa Timur, dimana banyak memang orang asing datang, namun masyarakat hanya sebagai penonton.

Diakui dengan mendatangkan investor kemajuan TNGR bisa lebih cepat. Namun yang akan menikmati hasilnya hanyalah orang menengah keatas. Disamping itu, faktor keamanan jelas akan terganggu. Tidak mau dicoreng Syihabuddin, TNGR saat ini sebagai kawasan paling aman secara nasional jadi terganggu.

Syihabuddin menyadari dengan tidak ada investor kemajuan akan lamban. Lambatnya proses pembangunan di TNGR lebih dipilih daripada merusak citra TNGR di mata masyarkat sekitar. Diinginkan, masyarakat sekitar itulah yang berimprovisasi. Mengembangkan sendiri peluang pengembangan ekonominya. “Tidak apa-apa lamban dari pada masyarakat sekitar kolap,” imbuhnya.

Ditambahkan, terkait tawaran Syihabuddin menyebut cukup banyak sudah investor yang menawarkan diri. “Sudah ada tiga proposal ini yang masuk lagi,” sebutnya. Setiap yang masuk katanya ditanggapi dengan menyatakan saat ini pihaknya sedang menyusun potensi dan rencana pemeliharaan. Setiap investor yang ingin masuk dengan ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) pun ditolak.



Terbesar Ketiga Nasional

Selanjutnya disebutkan Kepala Balai TNGR yang baru setahun menjabat ini, saat ini TNGR dari semua taman nasional se Indonesia tercatat sebagai penyumbang pendapatan negara terbesar ke tiga secara nasional, yakni sebesar Rp 200 juta pertahunnya. Padahal dari segi retribusi, TNGR paling rendah mengambil dari pengunjung.

Wisatawan asing hanya dibebani Rp 20 ribu, sedangkan lokal hanya Rp 2 ribu. Disampaikan Syihabuddin, pihaknya sebenarnya telah mengusulkan agar bisa ditingkatkan. Bahkan pernah diusulkan akan dinaikkan menjadi Rp 200 ribu untuk wisatawan asing. Namun, aturan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 tahun 1999 yang tidak membenarkan.

Padahal menurutnya, sangat pantas dinaikkan Rp 200 ribu. Pasalnya, di daerah lain sudah jauh lebih tinggi. Sementara, TNGR yang jumlah pengunjungnya ribuan orang perbulannya ini hanya mematok harga tidak seberapa. Sementara di Kinibalu Malaysia saja yang hanya datang untuk melihat burung dipatok harga 15 dolar amerika. “Sebenarnya PP ini harus direvisi,” ucapnya. Terlebih penetapan harga brapapun khusus wisatawan asing ini tidak memberatkan.

Thursday, March 18, 2010

Terkait Pembatalan UN Penentuan Kelulusan Siswa, Tidak Harus Dengan UN

Putusan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga hukum tertinggi di Indonesia yang membatalkan Ujian Nasional (UN) mendapat reaksi dari berbagai pihak. Dari beberapa Sumber yang dihubungi Suara NTB menyatakan setuju dengan tidak akan lagi digelarnya UN bagi siswa-siswi kelas III SMA dan SMP sederajat.

ALVI Azimi salah seorang siswa di Kota Mataram mengatakan sangat setuju dihapuskannya UN. Dikatakan, UN selama ini sebagai sosok yang menakutkan bagi setiap siswa yang akan menjalaninya. Takut tidak lulus. Karena standar nilai kelulusannya selalu meningkat tiap tahunnya, bahkan sepengetahuannya tahun ini rata-rata nilai 5,5 baru siswa dapat dinyatakan lulus.

Ditambahkan, menjadi siswa kelas III dengan telah diwanti-wanti jauh-jauh hari sebelumnya oleh para guru. Tak heran, siswa bahkan tidak jarang siswa stress ketika menghadapi UN. Terlebih UN saat ini terkesan dilaksanakan penuh kecurangan. Dugaan kebocoran soal dimana-mana. Akibatnya, kelulusan siswa syarat kebohongan.

Guru-guru pengajar dikelas III berlomba-lomba menjadi tim sukses kelulusan siswa. Parahnya lagi, sekolah-sekolah seperti main gengsi-gengsian. Ketakutan dikatakan sekolahnya banyak tidak lulus kerap menjadi pemicu yang mendorong guru dan kepala sekolah berusaha menjadikan kelulusan meningkat.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) NTB, Drs. Ali A Rahim dihubungi Kamis (26/11) lalu mengutarakan tidak sependapat sepenuhnya dengan rencana penghapusan UN. Hanya saja, terangnya harus ada perbaikan secara menyeluruh pada proses penyelenggaraan UN. Dimana, selama ini UN seperti dijadikan satu-satunya syarat meluluskan siswa.

Disarankan Ali Rahim, pelaksanaan UN harus dikembalikan pada dasar hukum pelaksanaannya. Utamanya yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2009 tentang standar nasional pendidikan. PP tersebut mengamanatkan penentuan kelulusan akir siswa sekolah bukan dengan cara komputerisasi seperti dilakukan saat ini.

“Bahasa saya bukan dihapus,” cakap Ali. Namun penentuan kelulusan yang bersifat sentralistik seperti sekarang imbuhnya harus dirubah. Serahkan penentuan kelulusannya ke sekolah bersangkutan. Pasalnya, yang lebih mengerti dan memahami tingkat kompetensi siswa adalah para guru di sekolah.

Tidak dinafik Ali bahwa UN selama ini cukup efektif dijadikan sebagai cara melihat tingkat kompetensi siswa secara nasional. Ada standarisasi kelulusannya yang saat ini rata-rata 5,5. Penentuan standarisasi ini dirasa kurang tepat, karena secara nasional pengetahusan siswa antara daerah satu dengan daerah lainnya berbeda.

Peran pusat secara nasional, menurut Ali pun harus dirubah. Nama UN bisa tetap melenggang dengan catatan peran pusat cukup pada pembuatan penjadwalan pelaksanaan secara nasional dan adanya kisi-kisi soal. Penjabaran soal-soal ujian yang akan diujikan disarankan bisa diserahkan di pemerintah provinsi dan kabupaten setempat. Dan penentuan kelulusan, tetap melihat pertimbangan dari sekolah yang menggelar UN.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olah Raga (Dikpora) NTB, Drs. H. Ma’shum, MM menyampaikan pihaknya saat ini masih menunggu reaksi menteri pendidikan nasional terhadap hasil putusan MA tersebut. Sehingga saat dikonfirmasi, Ma’shum hanya mengatakan belum bisa mengambil sikap apa-apa. “Menteri aja belum, apalagi setingkat kepala dinas,” demikian.

Menghadapi UN 2010 Tidak ada lagi Mata Pelajaran yang Menakutkan

Ujian Nasional (UN) hingga kini diakui atau tidak masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian siswa. Bahkan bagi sebagian sekolah yang kerap sebagai pelaksana kegiatan UN. Mata pelajaran eksak, seperti Matematika, Fisika, Kimia dan menghitung lainnya kerap menjadi mata pelajaran yang paling ditakuti. Masihkah itu?

NITA Fitri salah satu siswa asal Kota Mataram yang akan mengikuti UN Senin (22/3) mendatang menyatakan siap atau tidak siap, harus siap menghadapi UN. Bagi Nita, mengikuti UN memang membutuhkan pemikiran yang jauh beda dibandingkan mengikuti ujian-ujian sehari-hari di Sekolah, seperti halnya Try Out.

Menurut Nita, UN memang sampai sekarang ditakuti siswa. Namun jika dihadapi dengan kesiapan yang matang perasaan itu tidak akan ada. Malahan baginya akan dihadapi dengan menyenangkan. Terkait mata pelajaran, matematika diakui dulu paling menakutkan. Namun saat ini pelajaran eksak yang akan diujikan itu dipastikan tidak lagi menjadi momok.

Hal senada diungkapkan Muhaimin. SMK swasta di Mataram asal Lombok Timur (Lotim) ini menyatakan dulunya ketika di SMP mata pelajaran Matematika, Fisika, Bahasa Inggris adalah pelajaran yang ditakuti. Terlebih matematika sebagai mata pelajaran yang dulunya jarang disukai. Apalagi, kalau gurunya juga “killer” alias galak. Pelajaran matematika ini tampak seperti momok yang ditakuti sekali.

Saat ini, diungkapkan mata pelajaran itu tidak lagi menjadi hal yang menakutkan lagi. Menurut Muhaimin, pendapatnya itu dianggap tidak jauh berbeda dengan rekan-rekannya. Sebab, pelajaran ini saat ini dapat disajikan dengan suasana yang menyenangkan. Guru-guru sudah mulai mengajarkan pelajaran sulit dengan cara yang menggembirakan. Sehingga mudah dicerna.

Adanya perubahan pandangan terhadap mata pelajaran sulit itu dinilai juga oleh jajaran Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Kota Mataram. Seperti diungkapkan Kepala Bidang (Kabid) Pendidikan Dasar (Dikdas) Dikpora Mataram, Ruslan Efendy kepada Suara NTB. Dikatakan, dulu memang mata pelajaran eksak banyak yang menakuti. Namun saat ini sudah dirasakan tidak lagi.

Disampaikan, fakta perubahan itu terlihan dari nilai Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) tingkat SD maupun UN ditingkat SMP. Ditemukan, mata pelajaran matematika, fisika atupun pelajaran yang dianggap menakutkan lainnya rata-rata nilainya tidak begitu rendah. Tidak ada mata pelajaran yang menonjol seperti yang dulu. Semua mata pelajaran menurutnya sama saja tingkat kesulitan yang dihadapi siswa. ()