Thursday, September 23, 2010

Harga Tomat “Sekarat” Biaya Pemeliharaan Lebih Tinggi dari Hasil Penjualan


Petani tomat di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) mengeluhkan harga tomat yang sangat rendah. Beberapa petani malah menilai, beberapa bulan terakhir ini harga tomat sedang sekarat. Perkilogramnya hanya dihargakan Rp 250.

SUHAIMI, seorang petani tomat Desa Tirtanadi Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur mengaku pusing dengan harga tomat. Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, harganya masih bisa membuat tersenyum.

Jika harga tomat tetap bertahan pada posisi Rp 250-500 maka petani tidak bisa apa-apa. Modal besar yang telah keluar ditambah tenaga dipastikan tidak bisa kembali. Disebutkan mulai dari harga bibit dengan merek Tombatu Rp 65 ribu perbungkus. Perbungkus hanya bisa satu are saja.

Jika dihitung perhektarnya, maka untuk keperluan bibit tomat Tombatu ini saja petani harus mengeluarkan Rp 650 ribu. Menanam jenis tomat ini, tidak bisa diatas tanah kosong. Namun butuh mulsa (penutup pematang). Perhektar harganya mencapai Rp 13 juta. Lain lagi untuk keperluan lain. Seperti kayu penyangga dari bambu yang juga harus dibeli, tali rapia dan obat-obatannya.

Bagi petani yang memiliki lahan yang luas bisa saja mensiasati dengan menanam jenis tanaman lain. Namun bagi Suhaimi yang memiliki lahan 5 are, penghasilan penjualan tomat jelas tidak akan cukup. Untuk modal awal di lahan seluas 5 are itu, mulsa butuh Rp 450 ribu, tali rapia untuk pengikat kayu butuh dana Rp 250 ribu.

Ditambah Rp 20 x 100 biji bambu menjadi tambah mahalnya modal yang harus dikeluarkan hanya untuk menanam tomat yang harganya tidak pernah ada perhatian dari pemerintah ini. Lain lagi keperluan biaya pemeliharaan. Mencabut rumput dan biaya ngompres dari serangan hama menggunakan obat dan pemupukan rutinnya.

“Kalau dihitung-hitung, harga tomat ini hanya mampu mengembalikan haga tali Rapia Rp 250 ribu,” ucap Suhaimi.

Fenomena harga komoditi pertanian seperti tidak pernah memihak petani ini adalah hal klasik yang tidak pernah dicari jalan keluarnya. Menurut Fihirudin, petani asal Desa Ijo Balit Kecamatan Labuhan Haji Lotim, petani ini tidak akan pernah sejahtera kalau perhatian pemerintah terhadap persoalan harga ini tetap saja seperti sekarang.

Bagi Fihir, persoalan mendasarnya adalah tidak adanya ketetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) bagi beberapa komoditi pertanian. Tidak diherankan katanya, petani terus mengeluhkan persoalan harga yang tidak pernah memihak pada petani. Diyakini, kalau ada HET, petani akan bisa mencatat dan menghitung sendiri kapan harus menanam komoditi ini dan komoditi yang lainnya.

Pola tanam petani saat ini diakui sesuai dengan hajat perut petani. Dimana, petani melihat berdasarkan harga komoditi mana yang paling laku dipasar. Ketika produksi melonjak naik, petani menjerit harga berpikir lebih baik membuang hasil pertanian dari pada dijual dengan harga yang menyakitkan.

Fakta terhadap keluhan petani itu, seperti membenarkan temuan Badan Pusat Statistik (BPS) NTB tentang Nilai Tukar Petani (NTP). Dimana, gambaran atas daya beli petani dan tingkat kesejahteraan petani ini kerap dibawah standar kesejahteraan. Biaya hidup petani selalu lebih mahal dibandigkan dengan hasil produksinya.

Biaya membeli pupuk, biaya membeli pestisida, biaya mencabut rumput ditambah rasa capek dibawah terik mentari yang tiap hari menyengat hingga warna kulit menyamai tanah jauh lebih mahal dari hasil karingat yang diteima. Apakah petani tetap seperti ini?? Semoga ada perubahan bagi kehidupan mereka yang memberi makan secara tidak langsung Presiden, Gubernur, Bupati dan para penentu kebijakan dan pencari solusi terhadap masalah rakyat yang dipimpinnya.

No comments:

Post a Comment