Wednesday, November 14, 2012

Mati, Sejumlah Sentra Produksi Rumput Laut

Sejumlah tempat yang menjadi sentra produksi rumput laut saat ini sudah mati. Rumput laut yang masuk dalam program unggulan pemerintah itu tidak bisa lagi di dibudidayakan. Yakni di Dusun Ujung Desa Pemongkong, Teluk Ekas desa Ekas Buana, Batu Nampar Desa Batu Nampar.

Di Teluk Ekas Desa Ekas Buana dan Dusun Ujung Desa Pemongkong Kecamatan Jerowaru, sudah tidak ada aktivitas pembudidaya rumput laut yang bisa menjanjikan bagi pengembangan ekonomi rakyat. Alat-alat budidaya dibiarkan warga berserakan di bibir pantai. Tidak sedikit dari alat-alat tersebut merupakan bantuan pemerintah. Namun, kini menjadi sia-sia.

Amaq Mawar, Ketua RT Desa Ujung yang diwawancara Minggu (11/11) kemarin mengaku salah satu penyebab tidak lagi bisa melalukukan budidaya hasil laut terjadi akibat kerusakan ekosistem laut. Tidak ditampik, kerusakan tersebut tidak lepas dari perilaku manusia. Masih banyak aktivitas nelayan yang menangkap ikan dengan cara-cara tidak wajar. Antara lain, menebar putas alias racun di tempat-tempat tumbuh dan kembangbiak ikan. Para nelayan sengaja menyelam membawa putas berisi botol air mineral. Di tempat kumpulnya ikan, putas lalu dilepas.

Agar tidak diketahui orang, para nelayan sengaja memilih malamhari untuk menyelam. Pagi hari baru pulang. Membawa alat tangkap seolah ia menangkap ikan dengan alat yang diperbolehkan. Sudah bertahun-tahun hingga sekarang, aktivitas menangkap ikan dengan menebar putas itu dilakukan nelayan. “Kalau menggunakan bom masih mending,” akunya.

Beberapa tahun lalu, ikan-ikan besar begitu mudah di dapat. Budidaya rumput laut melimpah ruah. Saat ini, ikan besar hanya bisa diperoleh di lautan jauh ke tengah. Rumput laut sama sekali tidak bisa dibudidayakan. Tidak heran, masyarakat yang pernah senang dengan rumput laut kini lemah.

Bantuan untuk pengembangan rumput laut memang diberikan. Namun tidak diajarkan cara pengembangannya. Tidak heran, bantuan tersebut kini menjadi sia-sia. Terbuang dan menjadi sampah di pinggir-pinggir pantai.

Fakta hancurnya sentra-sentra budidaya rumput laut itu diakui Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Lotim, H. Hariyadi Surenggana. Menjawab Suara NTB sebelumnya, ia menyebut Dusun Ujung, Ekas, Batu Nampar diakui habis rusak semua.

Kehancuran budidaya itu tidak terlepas dari akibat perubahan iklim. Saat ini, tempat sentra produksi yang masih bertahan bertempat di Sawung, Swaga dan Seriwe. "Ke depan pasti akan berkembang," janji Surenggana meyakinkan. Akibat perubahan dan hancurnya sentra-sentra produksi rumput laut itu diakui berpengaruh pada penurunan produksi.

Disebutkan Surenggana, soal bantuan alat pengembangan rumput laut pernah diberikan dari Pemerintah Provinsi NTB. Bantuan berupa alat budidaya dua long line. "Longline 50X50 meter, Itu berupa tali 50 utas, panjangnya iya sekitar 2500 meter," sebutnya

Pengembangan rumput laut memang menjadi salah satu program Pemprov NTB dalam akronim Pijar. Dimana, Rumput laut diyakini bisa sebagai usaha lain bagi nelayan untuk tingkatkan pendapatan. Terlebih bagi masyarakat pesisir yang terisolasi. Pengembangan rumput laut juga ada lewat bantuan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT).

Lebih lanjut menanggapi soal kehancuran sentra-sentra budidaya tersebut, Surenggana menilai sebenarnya petani yang jauh lebih faham. Katanya, Rumput laut berkembang sejak tahun 1980. "Siapapun melihat, langsung bisa. Tidak ada kesulitan. Kalau sekarang tidak dibina, berarti itu pendatang baru," bantahnya

Sistem budidaya dengan menggunakan Longline juga sudah berkembang cukup lama, sekitar lima tahun lalu. "Kalau nelayan tidak bisa, itu keterlaluan," ucapnya menyalahkan para pembudidaya.

Meski demikian, diniatkan Surenggana, pihaknya akan berusahan menghidupkan lokasi sentra-sentra produksi yang mati. Jika tidak bisa dalam bentuk pembinaan pengembangan rumput laut, rencananya para pembudidaya akan diberikan batuan Keramba Jaring Apung (KJA).


No comments:

Post a Comment