Thursday, September 23, 2010

Jual Jagung Berkualitas Pastikan Margin Lebih Besar


Kepala Dinas (Kadis) Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (PTPH) NTB, Ir. Pending Dadih Permana, MEc. Dev., mengutarakan selama ini jagung yang dijual petani tanpa standar mutu. Kualitas jagung yang dihasilkan masih dibawah standar nasional Indonesia (SNI). Akibatnya, keuntungan yang diperoleh petani pun minim. Karenanya, coba diajak untuk menjual jagung yang berkualitas, dengan demikian margin keuntungan yang diterima petani bisa lebih besar.

Dikatakan, jagung yang terjual tanpa great SNI itu hanya Rp 1.600-1.800 perkilogram. Masuknya, i-Pasar yang menawarkan sistem lelang telah mampu meningkatkan margin keuntungan yang cukup besar bagi petani.

Karenanya, jagung-jagung yang masih dibawah standar itu coba ditingkatkan kualitasnya. Salah satu caranya, menurunkan kadar air hingga 14 persen. Sejauh ini, jagung yang dihasilkan petani utu setelah dianalisis mampu menjadi jagung dengan great mutu II-III. Jagung yang masuk mutu III dalam spot lelang ini selama ini dihargakan dengan harga standar Rp 2.200 perkilogram.

“Kemarin yang mutu III ada yang terjual dengan harga Rp 2.385 perkilogramnya, dan itu menjadi penawaran tertinggi,” tutur Dadih.

Dijelaskan, sistemnya selama ini jagung yang diperoleh dari gabungan kelompok tani diterima dalam bentuk kemasan 50 kg masuk ke gudang. Ketika masuk proses lelang, langsung dengan harga standar Rp 2.200 perkilogramnya. Saat lelang, selalu melebihi harga standar itu. Bahkan jagung mutu I dan dua pernah terjual dengan harga Rp 2.630 perkilogram.

Disoal tentang produksi, tahun 2010 ini bisa mencapai 370 ribu ton. Sepertiga dari total produksi itu diharapkan bisa masuk dalam proses lelang di i-Pasar. Masih minimnya target lelang ini karena minimnya gudang yang siap menampung.

Gudang di NTB sejauh ini hanya mampu menampung 3.200 ton. Yakni yang berada di Lombok Timur (Lotim) dan di Lembar Lombok Barat. “Kita intensif gunakan yang di Lotim,” ucap Dadih. Selama ini, proses lelang dengan media i-Pasar ini sudah acap kali dilakukan, Terakhir pada awal Agustus 2010 lalu, tercatat 520 ton dilelang.

Kepastian keuntungan lebih bagi petani ini tidak saja pada penjualan, dipastikan sebelum masuk proses lelang pun jagung-jagung petani sebagian besar bisa dibayarkan. Dimana, petani yang memasukkan jagungnya ke gudang serah akan mendapatkan i-Resi. Hal ini menjadi alat bukti bahwa petani sudah menyetorkan barang ke gudang. i-Resi itu dapat dicairkan 70 persen dari nilai barangnya sebelum proses lelang dilakukan.

Dadih menambahkan, ke depan akan ada proses lelang melalui Forward. Untuk kegiatan lelang ini, telah dilakukan kontrak dengan tiga gabungan kelompok tani (gapoktan), di Lotim, Lombok Utara dan KLU dan ada pengusaha yang siap membeli.

Pembangunan di Bidang Pertanian Tidak Ada yang Istimewa


GURU Besar Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram), Prof. Ir. H. Mansur Ma’shum, PhD., menilai selama dua tahun kepemimpinan TGH. M. Zainul Majdi, MA., dan Ir. H. Badrul Munir, MM., sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur tidak ada yang istimewa dan yang bisa dibanggakan dalam capaian pembangunan pertanian. “Kalau refleksi itu kan sebenarnya harus ada yang istimewa,” ungkapnya.

Sisa waktu yang tiga tahun terangnya menjadi waktu bagi Gubernur dan jajarannya untuk memingkatkan komitmen dan pembangunan dibidang pertanian. Dinilai, selama ini komunikasi antara Gubernur dengan Satuan Kinerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup pemerintah provinsi NTB dan dengan para peneliti dianggap kurang intensif.

Padahal, sempat Wagub memberikan kritik pada perguruan tinggi soal hasil-hasil penelitiannya. “Kalau kita sudah sampai inseminasi,” terang Mansur. Dituturkan, para peneliti Unram sudah melakukan penelitian cukup banyak. Antara lain, penelitian yang mampu menghemat air 56 persen di Sengkol dan Mujur Kabupaten Lombok Tengah (Loteng).

Teknologi tersebut sudah mendapatkan pengakuan ditingkat internasional. Pengakuan dari Australia, Bangladesh, Meksiko dan beberapa Negara lain. Yakni melalui penelitian itu mampu menghemat air untuk tanaman padi. Faktanya, dukungan pemerintah provinsi NTB sendiri tidak terlihat. “Kalau peneliti kan tidak punya uang,” imbuhnya.

Petani prinsipnya sangat tertarik mengaplikasikan hasil penelitian itu. Namun terbentur modal untuk membuat arsitek tanah seperti itu membuat petani tidak bisa berbuat banyak. Bicara bantuan perbankan cukup ribet dengan sebarek prosedurnya. “Keluhan petani itu telah disampaikan ke bank NTB. Direktur Bank NTB cukup merespon. Inilah namanya komunikasi,” ungkap Mansur.

Dibantah Mansur, terhadap kritikan dan masukan-masukannya kepada pemerintah provinsi ini tidak pernah ia komunikasikan langsung kepada Gubernur. Sampai sejauh ini tidak pernah ia dipanggil ataupun sengaja menghadap ke Gubernur untuk menkomunikasikan persoalan pertanian. Terlebih mengenai dugaan dirinya menyampaian usulan reshuffle SKPD rumpun hijau.

“Mansur Ma’shum tidak pernah komunikasi dengan Gubernur,” tegasnya. Ditanya pendapat apa perlu ada reshuffle para pembantu Gubernur, dengan terang dikatakan Mansur ia tidak punya kapasitas untuk bicara apa yang menjadi hak preogratif Gubernur tersebut.

Paling banyak diosoroti mantan Rektor Unram ini, adalah persoalan omprongan tembakau. Belasan ribu omprongan yang diminta beralih menggunakan bahan bakar batu bara dianggap harus terangkan betul-betul ke tengah masyarakat. Utamanya persoalan lingkungan dan dampak buruk terhadap kesehatan yang kemungkinan bisa terjadi.

Beberapa Negara maju, seperti Cina tutur Mansur sebenarnya sudah tidak lagi menggunakan batu bara. Hal itu dikarenakan dampak buruk terhadap lingkungan utamanua pada kesehatan manusia.

Kalau pemakaian skala industri besar, seperti PT. NNT yang cerobong asapnya di atas mungkin tidak menjadi persoalan. Namun pengomprong ini asapnya kemana-mana dan langsung ke masyarakat. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) aku Mansur sudah dihubungi dan mengaku sudah memikirkan hal itu. Namun, masih dipertanyakan apakah benar-benar sudah diteliti.

Sepengetahuan Mansur, secara nasional minyak tanah memang sudah mulai dikurangi. Namun ajakan menggunakan barra prinsipnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Asap yang dikeluarkan dari cerobongnya mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan. Mengandung mercury dan logam berat yang berbahaya.

Abu asap yang berterbangan ternyata mengandung partikel halus. Tidak tampak oleh mata telanjang. Partikel pun bisa mengganggu kesehatan. Lain lagi persoalan emisi karbon (CO2) yang keluar mencemarkan udara.

Kalau satu dua oven tembakau yang beroperasi mungkin tidak bermasalah. Namun kalau 13 ribu omprongan atau 10 persen saja maka, berapa emisi karbon yang beterbangan mengancam kesehatan manusia.

Harga Tomat “Sekarat” Biaya Pemeliharaan Lebih Tinggi dari Hasil Penjualan


Petani tomat di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) mengeluhkan harga tomat yang sangat rendah. Beberapa petani malah menilai, beberapa bulan terakhir ini harga tomat sedang sekarat. Perkilogramnya hanya dihargakan Rp 250.

SUHAIMI, seorang petani tomat Desa Tirtanadi Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur mengaku pusing dengan harga tomat. Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, harganya masih bisa membuat tersenyum.

Jika harga tomat tetap bertahan pada posisi Rp 250-500 maka petani tidak bisa apa-apa. Modal besar yang telah keluar ditambah tenaga dipastikan tidak bisa kembali. Disebutkan mulai dari harga bibit dengan merek Tombatu Rp 65 ribu perbungkus. Perbungkus hanya bisa satu are saja.

Jika dihitung perhektarnya, maka untuk keperluan bibit tomat Tombatu ini saja petani harus mengeluarkan Rp 650 ribu. Menanam jenis tomat ini, tidak bisa diatas tanah kosong. Namun butuh mulsa (penutup pematang). Perhektar harganya mencapai Rp 13 juta. Lain lagi untuk keperluan lain. Seperti kayu penyangga dari bambu yang juga harus dibeli, tali rapia dan obat-obatannya.

Bagi petani yang memiliki lahan yang luas bisa saja mensiasati dengan menanam jenis tanaman lain. Namun bagi Suhaimi yang memiliki lahan 5 are, penghasilan penjualan tomat jelas tidak akan cukup. Untuk modal awal di lahan seluas 5 are itu, mulsa butuh Rp 450 ribu, tali rapia untuk pengikat kayu butuh dana Rp 250 ribu.

Ditambah Rp 20 x 100 biji bambu menjadi tambah mahalnya modal yang harus dikeluarkan hanya untuk menanam tomat yang harganya tidak pernah ada perhatian dari pemerintah ini. Lain lagi keperluan biaya pemeliharaan. Mencabut rumput dan biaya ngompres dari serangan hama menggunakan obat dan pemupukan rutinnya.

“Kalau dihitung-hitung, harga tomat ini hanya mampu mengembalikan haga tali Rapia Rp 250 ribu,” ucap Suhaimi.

Fenomena harga komoditi pertanian seperti tidak pernah memihak petani ini adalah hal klasik yang tidak pernah dicari jalan keluarnya. Menurut Fihirudin, petani asal Desa Ijo Balit Kecamatan Labuhan Haji Lotim, petani ini tidak akan pernah sejahtera kalau perhatian pemerintah terhadap persoalan harga ini tetap saja seperti sekarang.

Bagi Fihir, persoalan mendasarnya adalah tidak adanya ketetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) bagi beberapa komoditi pertanian. Tidak diherankan katanya, petani terus mengeluhkan persoalan harga yang tidak pernah memihak pada petani. Diyakini, kalau ada HET, petani akan bisa mencatat dan menghitung sendiri kapan harus menanam komoditi ini dan komoditi yang lainnya.

Pola tanam petani saat ini diakui sesuai dengan hajat perut petani. Dimana, petani melihat berdasarkan harga komoditi mana yang paling laku dipasar. Ketika produksi melonjak naik, petani menjerit harga berpikir lebih baik membuang hasil pertanian dari pada dijual dengan harga yang menyakitkan.

Fakta terhadap keluhan petani itu, seperti membenarkan temuan Badan Pusat Statistik (BPS) NTB tentang Nilai Tukar Petani (NTP). Dimana, gambaran atas daya beli petani dan tingkat kesejahteraan petani ini kerap dibawah standar kesejahteraan. Biaya hidup petani selalu lebih mahal dibandigkan dengan hasil produksinya.

Biaya membeli pupuk, biaya membeli pestisida, biaya mencabut rumput ditambah rasa capek dibawah terik mentari yang tiap hari menyengat hingga warna kulit menyamai tanah jauh lebih mahal dari hasil karingat yang diteima. Apakah petani tetap seperti ini?? Semoga ada perubahan bagi kehidupan mereka yang memberi makan secara tidak langsung Presiden, Gubernur, Bupati dan para penentu kebijakan dan pencari solusi terhadap masalah rakyat yang dipimpinnya.