Saturday, July 24, 2010

Jadikan Berugak Tempat “Ngerumpi” yang Lebih Bermakna

Secara historis, masyarakat NTB, khususnya Lombok memiliki tradisi ngobrol. Masyarakat pedesan khususnya kerap kita lihat kumpul, ngerumpi. Tempat yang paling disenengi adalah gerdu (berugak). Selama ini kebiasaan ngerumpi dilakukan masyarakat pedesaan terkesan kurang bermakna.

SADAR akan potensi masyarakat itu, Desa Kekeri Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat (Lobar) menggali dan memanfaatkanya. Jadikan media berugak sebagai tempat ngerumpi yang lebih bermakna.

Kepala Desa (Kades) Kekeri, Hafizin, AMd., menuturkan, pada mulanya kegiatan pembangunan di desanya hanya mengandalkan uluran tangan pemerintah. Tidak ada partisipasi dari masyarakat. Utamanya para ibu-ibu yang memiliki kebiasaan ngobrolin orang.

Hafizin yang ditemui di sela acara berbagi pembelajaran bersama berbagi pembelajaran program Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCES) yang digelar di Hotel Lombok Raya Mataram, Rabu (30/6) kemarin. Dikatakan masuknya program ACCESmenawarkan gerdu cerdas dirasakan sudah banyak perubahan signifikan yang bisa dirasakan. Antara lain, para ibu-ibu saat ini cukup bersemangat dalam setiap agenda pembangunan.

Manfaat berugak yang selama ini hanya sebagai hiasan sudah dijadikan central pengaduan. Semua orang yang meminta bantuan bisa mengadukan keluhannya di berugak (gerdu cerdas) tersebut.

Persoalan mendasar di Desa Kekeri biasanya sangat kesulitan mengumpulkan ibu-ibu saat ini sudah dirasa tidak lagi. Digerdu itulah lahir hasrat dan keinginan yang coba disalurkan dan dicari jalan keluarnya. Saat ini pun telah ada proses kaderisasi yang melahirkan generasi penerus, para remaja yang terlihat sangat bersemangat dan kompak.

Kegiatan gotong royong yang sempat terpendam kembali bisa dihidupkan. Untuk mendukung kegiatan, jelas ada dukungan penganggaran. Pemerintah sendiri saat ini dirasa tidak kesulitan dengan kesadaran yang telah terbangun dari masyarakat.

Selanjutnya, Sekretaris Jendral (Sekjen) Jaringan Masyarakat Sipil (JMS), Tommy, menyampaikan keberadaan berugak yang sudah mengakar dalam budaya Indonesia bisa dijadikan ruang pembangunan. Tidak sebatas dijadikan pos jaga.

Coba diredefinisikan Tommy, bahwa keberadaan berugak selama ini tidak tidak saja berfungsi sebagai central militer seperti masa lalu. Namun lebih dari itu, ada fungsi sosial yang terkandung. Kepemilikan berugak, siapapun yang membangunnya tidak secara ekslusif murni milik orang yang membangun. Namun milik semua pihak.

Peralihan dari fungsi militer ke fungsi sosial ini dirasa cukup menarik. Peran itulah yang dirasa cukup bagus dan diambil ACCES untuk dimanfaatkan sebagai media pembangunan. Ajak masyarakat untuk turut berpartisipasi membangun pendidikan, menata kekurangan dalam setiak kegiatan pembangunan.

Selama ini dinilai Tommy, kegiatan membangun kurang melibatkan masyarakat. Dinilai ada perlawanan terhadap kebiasaan masyarakat ngerumpi tersebut. Dimana, kalau bicara pendidikan diarahkan cukup disekolah, bicara kesehatan cukup di dinas kesehatan dan sejenisnya. Sekjen JMS ini, kebiasaan masyarakat tersebut harus dimanfaatkan. Belajar diberugak sambil ngobrol santai.

Dikritik Tommy gerakan 3A (Akino-Absano-Adono) yang mengarahkan ke tempat-tempat lain. Tidak memanfaatkan berugak sebagai tempat yang biasa dikerumuni warga. “Kita punya tradisi untuk saling berbagi,” cakapnya. Bicara politik, bicara pendidikan, dan bicara hal-hal lainnya sangat pantas dan cukup mengena bicarakan juga di berugak. Hilangkan pikiran, kalau bicara politik, adalah obrolan berat. Manfaatkan budaya dan tradisi ngerumpi di berugak sebagai media untuk membicarakan, merencanakan kegiatan pembangunan menuju masyarakat yang lebih maju.

Friday, July 23, 2010

100 products processed from raw coconut

PROF. Ir. H. Sunarpi, PhD., Mentioning one of the forgotten great potential is the coconut. A professor from the University of Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Bambang S., he has created 100 products processed from raw coconut. Among others, Virgin Coconut Oil (VCO) or virgin oil, nata decoco, liquid smoke. Special liquid smoke, he added is one of its product can be used as food preservatives. Instead of using preservatives that are harmful to the food, Sunarpi would recommend using a natural food preservative that. In addition, many coconuts that have the potential high economic value. Previously, assessed Sunarpi, there are less fit than the efforts of certain parties who have disparaged the preparations of coconut products. Though not the case. "We've been fed by the poor image of the palm, such as cholesterol and other hazards. As a result of our society so afraid, "he said. Though not so, the potential for a lot of oil on earth thrives gora processed products can be developed in various forms.

Keep in mind, advanced replacement Prof. Ir. H. Mansur Ma'shum, PhD Unram Rector of this, not only human resource that should be improved. Niaganya governance system must be prepared. And do not forget, the capital for entrepreneurs. "Is where the need for a touch of the bureaucracy," according Sunarpi. In general, recognized Sunarpi savior when the food crisis is even a financial crisis which had hit. But so far, prospective students alumni perceived less interested in his own farm agriculture business that. Although recognized as a savior, but felt less so loved by the graduates who already have academic provision. "Resistance during the crisis, it's saved by agriculture. But do not realize that agriculture is a savior, "said the rector of this. It is unfortunate, for these alumni to pursue opportunities so impressed only Civil Servants (PNS). In fact, if you already have the academic capital, believed to be able to explore the potential of Natural Resources (SDA) which is believed to be able to give great added value.

Admittedly, so far not seen many entrepreneurs who are developing crops that. This was seen when only the traditional businessman who has not seen development. In fact, if cultivated, especially talk of refined food has a huge potential to bring added value. Sunarpi know, the provincial government (provincial) menggaungkan NTB is one of the strategic programs of agribusiness. Rector Unram strongly supported this because considering the enormous potential to improve the economic level of society. Except for local food in agricultural products is hampered product durability.'s Products and hortikukltura food for small entrepreneurs who have no capital will certainly survive. "If you score less wilted," he said. Necessary capital assistance for small entrepreneurs. The industries that developed recommended prefer the commodity itself. Rather than import the commodity.

“Warige" Climate Prediction with Sasak Community

PARTIAL Sasak people turned out to have a separate system in predicting things. Including predictions of climate. Local wisdom is named, warige. Climate forecasting system that is evolving for a long time among the Sasak Lombok community. In view of the Sasak people, the majority Muslims, this warige reference in any calendar month Qomariyah use. Explained researcher at the Center for Water Resources and Agro-climate Research (PUSLISDA) University of Mataram (UNRAM), Ir. Ismail Yasin, MSc. using Warige system can be known when the rain come down heavy, normal and a little rain.

Determination Warige assessed by Sasak and grow in the community after the study has a high degree of accuracy. "Accuracy reaches 70 percent," he said. The way to know it by looking at the rain intensity at the date when tumbuk (over-head sun). The date on which the sun as a source of heat in the earth just above the head. When checked scientifically, it turns out in months of ad on the island of Lombok, especially mashed occurred on October 15. Where, Lombok is located in south latitude 8035I each year was always going mashed dated October 15.

Counting warige torrential monsoon intensity, moderate and normal visits to date on the moon qamariyah mashed. Known, between AD and Qamariyah month is different, if it was mashed Qamariyah 6 months, the rainfall is quite high. Furthermore, if there are mashed Qamariyah 16th month, the normal rainfall, about 1500 mm3 per year. Finally, if mashed occurred on 26 then low rainfall. This is evident, as noted in the year 2009 and then, there has been mashed so it looks relatively low rainfall. With this warige, the nature of the rain. Are known, the party or do not smell much nyale obtained.

"Our parents actually have very ideology these climatic conditions," said Ismail. To forecast with warige, continued during the last two years are always right. Meanwhile, if the climate anomalies associated with Ismail denied if current climate conditions look bad and distorted. Changes that occur when this is only the form of climate variations that occurred in recent years. Indeed, is not free from the influence of global warming. There was el nino (dry season) and la nina (wet season).

Where, if anomalies occur in decades, while this only happens when the time change on rainfall. Within warige, the rain continued to fall until next November. "2010 is quite normal rainfall," he added. Agustus-September to October is usually dry, but for year 2010 is still found in the rain. Dry season, predicted to occur next year 2011.

Prof. Ir. H. Mansur Ma'shum PhD., Adding local wisdom (local wisdom) that existed at the Sasak people mostly taken from old books. There is book 12 stars, tajul grandiose and several other reference books. Delivered, the determination of this season in every area there. In Java, known as Maco mongso. Only the former rector Unram recognized this, local wisdom began to be forgotten.

For his part, tried to lift the local wisdom into scientific studies. Results of scientific studies with the local wisdom that can be collaborated and there is no disagreement. No conflict was recognized analyst of Meteorology, Climatology and Geophysics (BMKG), Aldi Rifaldy. Lack of local wisdom that only the data. Differences with BMKG for the support of data and technology.

“Warige” Ramalan Iklim ala Orang Sasak

SEBAGIAN orang Sasak ternyata memiliki sistem tersendiri dalam meramalkan sesuatu. Termasuk ramalan terhadap iklim. Kearifan lokal itu dinamai, warige. Yakni sistem peramalan iklim yang berkembang sejak lama dikalangan masyarkat Sasak Lombok. Mengingat masyarakat sasak ini mayoritas muslim, acuan penanggalan dalam warige ini pun menggunakan bulan Qomariyah.

Dijelaskan peneliti di Pusat Penelitian Sumberdaya Air dan Agroklimat (PUSLISDA) Universitas Mataram (Unram), Ir. Ismail Yasin, MSc. dengan menggunakan sistem Warige dapat diketahui kapan hujan turun lebat, normal dan sedikit hujan.

Penentuan dengan cara Warige dinilai berkembang di masyarakat Sasak dan setelah diteliti memiliki tingkat keakuratan tinggi. “Akurasinya mencapai 70 persen,” ucapnya. Adapun cara mengetahui intensitas hujan itu dengan melihat tanggal terjadinya tumbuk (over head sun). yakni, tanggal dimana sang Surya sebagai sumber panas di bumi persis berada diatas kepala.

Ketika dicek secara ilmiah, ternyata dalam bulan Masehi tumbuk di pulau Lombok khususnya terjadi pada tanggal 15 Oktober. Dimana, Lombok yang berada di 8035I Lintang Selatan (LS) setiap tahunnya selalu terjadi tumbuk tanggal 15 Oktober.

Menghitung warige musim hujan intensitasnya lebat, sedang dan normal dilihat pada tanggal tumbuk di bulan qamariyah. Diketahui, antara bulan Masehi dan Qamariyah ini berbeda, jika tumbuk itu terjaditanggal 6 bulan Qamariyah, maka curah hujan cukup tinggi. Selanjutnya, jika terjadi tumbuk tanggal 16 dibulan Qamariyah, maka hujan normal, yakni sekitar 1.500 mm3 pertahun.

Terakhir, jika tumbuk terjadi pada tanggal 26 maka curah hujan rendah. Hal ini terbukti, saat diperhatikan di tahun 2009 lalu, terjadi tumbuk sehingga terlihat curah hujan relatif rendah. Dengan warige ini, sifat hujan. Dapat diketahui, pesta bau nyale banyak atau tidak nyale yang diperoleh.

“Orang tua kita sebenarnya sudah sangat faham kondisi iklim ini,” ucap Ismail. Terhadap ramalan dengan warige, lanjutnya selama dua tahun terakhir selalu tepat.

Sementara, jika dikaitkan dengan anomali iklim dibantah Ismail kalau kondisi iklim saat ini terlihat parah dan menyimpang. Perubahan yang terjadi saat ini hanyalah bentuk dari variasi iklim yang terjadi beberapa tahun terakhir. Memang, tidak lepas dari adanya pengaruh global warming.

Terjadi el nino (musim kering) dan la nina (musim basah). Dimana, kalau anomali terjadi dalam puluhan tahun, sementara yang terjadi saat ini hanya perubahan waktu turunnya hujan. Dalam hitungan warige, hujan terus akan turun hingga Nopember mendatang. “2010 ini hujan cukup normal,” imbuhnya. Agustus-September-Oktober memang biasanya kering, namun untuh tahun 2010 ini masih ditemukan hujan. Musim kemarau, diprediksi akan terjadi tahun 2011 mendatang.

Prof. Ir. H. Mansur Ma’shum PhD., menambahkan local wisdom (kearifan lokal) yang ada pada masyarakat sasak sebagian besar diambil dari kitab-kitab dulu. Ada disebut kitab bintang 12, tajul muluk dan beberapa kitab rujukan lainnya.

Disampaikan, penentuan musim ini disetiap daerah itu ada. Di Jawa dikenal dengan sebutan pranoto mongso. Hanya saja diakui mantan rektor Unram ini, kearifan lokal itu mulai terlupakan. Pihaknya, coba mengangkat kearifan lokal itu ke dalam kajian ilmiah. Hasil kajian ilmiah dengan kearifan lokal itu bisa dikolaborasikan dan tidak terjadi pertentangan.

Tidak adanya pertentangan itu diakui analis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Aldi Rifaldy. Kekurangan local wisdom itu hanya pada data. Beda dengan BMKG dengan dukungan data dan teknologi. (rus)

Thursday, July 22, 2010

Guru Malas Buat Karya Tulis Ilmiah

RIBUAN guru yang ada di Kota Mataram, hanya sebagian kecil guru yang memiliki minat membuat karya tulis ilmiah (KTI). Hal itu terlihat dari sejauh ini sebagian besar guru tidak naik pangkat. Sepanjang sejarah keberadaan guru di Kota Mataram, tidak pernah ada guru yang meraih pangkat IVE sebagai pangkat tertinggi.

“Pangkat IV D pun belum ada sampai sekarang,” ungkap Plt Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Kota Mataram, Ruslan Efendi. Ia mengatakan pangkat tertinggi guru se kota Mataram sampai saat ini hanya IV C. “Bahkan yang sampai IV B pun kurang dari 50 orang,” imbuhnya.

Minimnya peminat guru membuat KTI itu menjadi alas pemicu belum adanya guru-guru di Ibu Kota Provinsi ini belum ada yang sampai pangkat ideal itu. Sejauh ini, disadari guru dianggap belum terbiasa menulis.

Jauh hari, sudah disadari kekurangan para guru tersebut. Berbagai upaya menumbuhkembangkan minat guru sudah dilakukan. Terhitung sejak tahun 2003 lalu sudah mulai dilakukan pelatihan KTI. Bahkan selain pelatihan, ada pembimbingan dari para pakar untuk membuat KTI.

Peserta telah diundang mengikuti pelatihan selama tiga hari, selanjutnya dibimbing menyusun dan mengajukan proposal penelitian. Letak kesulitan para guru selama ini memulai proses penulis. Meski sudah dilibatkan para pakar untuk mendampingi, namun sejauh ini belum banyak terlihat KTI yang dituangkan para guru.

Obyek penelitian para guru antara lain Class Room Action Research (CRAR) atau penelitian tindakan kelas. Penelitian terhadap proses pembelajaran ini semestinya dapat disadari oleh para penulis. Terlebih bisa memberikan nilai tambah atas poin guru untuk kenaikan pangkat.

Sebenarnya ada sanksi bagi guru yang tidak naik pangkat. Ada ancaman memberikan sanksi pemecatan. Namun, sejauh ini sanksi itu belum pernah dilakukan. Sehingga meski dalam belasan tahun tidak ada kenaikan pangkat seperti dibiarkan saja oleh pemerintah. Karena memang hal ini terjadi secara nasional. Jika sanksi diberikan, tentu akan berdampak besar. Terlebih selama ini masih kekurangan guru.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) NTB, Drs. H. Ali A. Rahim membantah kalau sebagian besar guru tidak memiliki minat untuk menulis karya tulis ilmiah. Menurut Ali, guru pada prinsipnya memiliki minat yang besar. Hanya saja terkendala waktu. Guru terlalu disibukkan dengan urusan sekolah sehingga tidak punya kesempatan banyak untuk menulis.

Ketua PGRI NTB membantah kalau dikatakan para guru malas. Diakuinya, ada kelemahan guru dalam menulis. Ketua organisasi profesi guru ini menuturkan telah mempersiapkan pemberian kemampuan teknis menulis pada guru. Melakukan kegiatan diklat pengembangan profesi para guru. “Ini salah satu cara kita agar teman-teman guru mau menulis,” ucapnya.

Selama tiga bulan berturut-turut pernah beberapa orang guru diberikan pelatihan secara bertahap. “Tinggal pengembangannya dilapangan sebenarnya,” ucapnya.

Menulis sebuah karya ilmiah akunya merupakan pra syarat jenjang pangkat seorang guru. Saat ini fokus pada pengembangan peningkatan kemampuan teknis para guru terus dilakukan. Utamanya menulis karya ilmiah yang merupakan hasil penelitian terhadap tindakan kelas.

Di NTB, telah ada tim khusus yang telah menangani persoalan ini. Para peserta langsung diajak dan belajar menulis. Meneliti tindakan kelas yang selanjutnya disuguhkan dalam sebuah karya tulis ilmiah. Guru-guru yang menjadi penulis kreatif akunya belum banyak di NTB. Namun upaya menuju ke arah sana terus dilakukan.

Seorang guru yang telah banyak menulis karya ilmiah dan kerap meraih juara di tingkat nasional, yakni Dra. Hamimatussa’diyah diajak PGRI untuk mengembangkan bakat-bakat menuilis para guru yang lain. Berikan rangsangan kepada para guru, bangkitkan semangat dan motivasi menulis.

Tegas Ali nyatakan, guru sama sekali tidak malas. Hanya saja kesibukan yang selama ini menggeluti waktu guru membuat guru kesulitan. “Insya Allah semua guru di NTB tidak ada yang tidak bisa menulis,” imbuhnya.

Ditambahkan, dari puluhan ribu guru yang ada di NTB, sebanyak 400 orang sudah mulai menulis. Diakui, karya tulis ilmiah ini memang menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat guru. Terus diberikan pemahaman dan dibina agar bisa menulis sedikitnya tiga karya tulis ilmiah dalam dua tahun supaya bisa naik pangkat.

Kalahkan Perguruan Tinggi Pungutan di SMA Rp 1,49 Miliar

Ketua Komite SMAN 1 Mataram, Prof. Ir. H. Mansur Ma’shum, PhD., Senin (19/7) kemarin buka-bukaan soal dana pungutan yang dilakukan komite sekolah terhadap orang tua. Nilainya cukup fantastic, mencapai Rp 1,49 miliar lebih. Jumlah itu, merupakan hasil hitungan kebutuhan belanja sekolah dalam periode tahun ajaran 2010/2011 ini.

Pemaparan itu disampaikan Mantan Rektor Universitas Mataram (Unram) itu pada wartawan di ruang Kepala Sekolah (Kepsek) SMAN 1 Mataram. Didampingi Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Bidang Kesiswaan, Sutardi, SPd., Mansur Ma’shum menyebutkan, semua anggaran senilai Rp 1,49 miliar tersebut berasal dari para orang tua.

Namun dengan tegas disampaikan, pemungutan dilakukan setelah siswa masuk. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah mufakat bersama semua anggota komite sekolah. Antara lain, dana tersebut diperoleh dengan kesepakatan untuk kelas 10 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di patok Rp 225 ribu perbulan, kelas akselerasi Rp 325 ribu perbulan.

Untuk yang pertama kali masuk dibebankan Rp 3,5 juta. Ditambahkan, untuk kelas 11 RSBI Rp 200 ribu perbulan dan kelas akselerasi Rp 300 ribu perbulan. Kelas 12 RSBI Rp 160 ribu perbulan dan regular Rp 110 ribu perbulan. Setiap awal tahun, diminta menyumbang juga Rp 1,4 juta untuk ortu siswa kelas 11 RSBI dan Rp 800 ribu untuk kelas 11 reguler. “Bagi yang punya dua atau lebih anak dibebakan bayar satu orang,” sebutnya.

Adanya bantuan dari pemerintah tegasnya tidak bisa membantu mengembangkan pendidikan di SMAN 1 Mataram ini. Sebab, dana dari pemerintah jelas tidak cukup untuk mengembangkan biaya pendidikan yang begitu mahal. Tidak heran akunya, SMA jauh lebih mahal dari perguruan tinggi. Terlebih, tidak ada dana seperti DAK/DAU masuk ke SMA. “Jadi mau tidak mau,” ucapnya.

Diterangkan, dana yang dipungut dari para orang tua itu diisi dengan beragam kegiatan dan program pengembangan anak. Membelikan fasilitas alat musik, pembangunan aula, pembangunan mushalla, fasilitas olahraga serta pengadaan jaringan internet. Selain itu, semua sekolah dipastikan ada AC yang membuat anak-anak nyaman belajar.

Dalam setiap pengambilan keputusan melakukan pungutan, lanjut Mansur selalu melibatkan ortu. Diakuinya, tidak ada anaknya yang sekolah di SMAN 1 Mataram. Namun dirinya dipercaya untuk membantu setiap program dan telah melaksanakan tugas komiter sebaik-baiknya. Adanya sebutan komite abadi katanya karena sebagian besar komite itu beralih dari sebutan awalnya dulu, bernama BP3.

Selanjutnya, terkait bantuan dari pemerintah itu, disampaikan Sutardi. Dimana Nilainya katanya setahun Rp 102 juta. Angka itu katanya tidak mampu memenuhi operasional dan keperluan lainnya.

Antara lain untuk bayar tagihan listrik saja sebulan bisa mencapai Rp 5-6 juta. Tagihan internet Rp 4 juta. Lain lagi untuk pengadaan fasilitas lainnya, berupa ATK dan lainnya. Sementara dari dana pemerintah Rp 1,3 juta dipatok untuk pembayaran listrik itupun dalam jangka tiga bulan. (rus)

Komoditi Terlupakan Itu Bisa Hasilkan 100 Produk Olahan

PROF. Ir. H. Sunarpi, PhD., menyebutkan salah satu potensi besar yang terlupakan adalah kelapa. Seorang guru besar dari Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Bambang S., katanya telah menciptakan 100 produk olahan dari bahan baku kelapa. Antara lain Virgin Coconut Oil (VCO) atau minyak perawan, nata decoco, asap cair.

Khusus asap cair, lanjutnya merupakan salah satu hasil olahan yang dapat dijadikan sebagai bahan pengawet makanan. Daripada menggunakan bahan pengawet yang berbahaya bagi pada makanan, Sunarpi lebih menganjurkan menggunakan bahan pengawet makanan alami itu.

Selain itu, banyak potensi kelapa yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sebelumnya, dinilai Sunarpi, ada upaya yang kurang pas dari pihak tertentu yang telah menjelek-jelekkan produk olahan dari kelapa. Padahal tidak demikian. “Kita selama ini dicekoki oleh image yang buruk terhadap kelapa, seperti bahaya kolestrol dan lainnya. Akibatnya masyarakat kita jadi takut,” sebutnya. Padahal tidak begitu, potensi kelapa yang banyak tumbuh subur di bumi gora ini bisa dikembangkan produk olahannya dalam berbagai bentuk.

Perlu diingat, lanjut pengganti Prof. Ir. H. Mansur Ma’shum, PhD menjadi Rektor Unram ini, tidak hanya SDM yang harus ditingkatkan. Sistem tata niaganya harus dipersiapkan. Serta tidak lupa, modal bagi pelaku usaha. “Disitulah perlunya sentuhan dari birokrasi,” demikian Sunarpi.

Secara umum, diakui Sunarpi adalah penyelamat saat krisis pangan bahkan krisis moneter yang pernah melanda. Namun sejauh ini, calon mahasiswa alumni pertanian dirasakan kurang meminati sendiri bisnis bidang pertanian itu. Meski diakui sebagai penyelamat, namun dirasa kurang begitu digandrungi oleh para lulusan yang sudah memiliki bekal akademis itu.

“Resistensi krisis selama ini kan diselamatkan oleh pertanian. Tapi tidak disadari bahwa pertanian itu sebagai penyelamat,” ucap Rektor ini.

Sangat disayangkan, selama ini para alumni terkesan hanya mengejar peluang jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal, kalau sudah memiliki modal akademik, diyakini bisa menggali potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang diyakini bisa memberikan nilai tambah yang besar itu.

Diakui, sejauh ini belum banyak terlihat pengusaha yang mengembangkan hasil bumi itu. Terlihat saat ini hanya pengusaha tradisional yang belum terlihat perkembangannya. Padahal, kalau digeluti, terlebih bicara hasil olahan pangan memiliki potensi yang sangat besar mendatangkan nilai tambah.

Sunarpi mengetahui, pemerintah provinsi (pemprov) NTB menggaungkan salah satu program strategisnya adalah agrobisnis. Sangat didukung Rektor Unram ini karena mengingat potensi besar meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat. Hanya saja, untuk pangan lokal hasil-hasil pertanian ini terkenda daya tahan produk.

Produk-produk pangan dan hortikukltura bagi pengusaha kecil yang tidak memiliki modal jelas akan bisa bertahan. “Kalau sudah layu kan nilainya kurang,” sebutnya. Perlu bantuan modal bagi pengusaha kecil. Adapun industri-industri yang dikembangkan disarankan lebih mengutamakan komoditi sendiri. Daripada komoditi impor.

Friday, July 16, 2010

Tertibkan Tanah Terlantar BPN Siap Berikan Tindakan Represif

Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) NTB membantah kalau selama ini tidak tegas, terhadap upaya penertiban tanah terlantar di NTB. BPN bahkan telah mempersiapkan panitia khusus, penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Disebut BPN dengan istilah panitia C. Dipastikan, jajaran BPN siap memberikan tindakan represif terhadap belasan ribu hektar tanah yang telah diindikasikan terlantar.

Penegasan itu disampaikan Tim Panitia Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, BPN NTB, Jaka Pramono, SP. Menjawab Suara NTB di ruang kerjanya, Kamis (8/7) kemarin, saat ini BPN sudah memiliki senjata berupa aturan hukum terbaru, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2010.

Pengganti PP 36 tahun 1998 itu dipastikan akan tegas terhadap tanah terlantar. Termaktub dalam PP 11/2010 tersebut, dalam jangka tiga tahun setelah mendapat hak tidak juga di realisasikan maka tanah bisa diindikasikan terlantar. Terhadapnya, siap akan diberikan tindakan penertiban secara paksa. Terlebih BPN sendiri telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) PP 11/2010 yang tertuang dalam Ketetapan Kepala BPN Nomor 4/2010.

2010 Empat Badan Hukum

Belum terlihat ada yang dieksekusi penertibannya karena aturan tegas soal penertiban baru dikantongi BPN. “Aturan PP 11/2010 ini kan baru April lalu di berlakukan,” ungkapnya. Menyikapi hal itu, BPN sudah langsung mengambil tindakan. Dimana, untuk NTB tahun 2010 ini ada empat badan hukum yang akan ditertibkan lahan yang diterlantarkan.

Joko menyebutkan, hasil validasi data terakhir BPN, tercatat 17.144 ha lahan yang diindikasikan terlantar. Belasan ribu ha lahan tersebut dikuasai 80 lembaga atau badan hukum. Masing-masing 46 badan hukum yang memegang sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), 23 badan hukum yang memegang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), 2 badan hukum yang memegang sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL), pemegang sertifikat Hak Pakai 3 badan hukum dan yang belum mengantongi sertifikat ada 6 badan hukum.

Pelaksanaan penertiban terhadap semua badan hukum itu tidak serta merta asal main copot saja. Namun perlu proses dan sangat berhati-hati. “Tahun 2010 bisanya hanya empat badan hukum, semuanya HGU, karena DIPA-nya cuma segitu,” ucapnya. Ditanya, badan hukum mana saja? Pihak BPN sengaja menyembunyikan dulu. “Secara normatif kita tidak diperkenankan dulu menyebutnya,” ucapnya.

Pada prinsipnya, BPN juga tidak menginginkan adanya tanah terlantar. Namun karena faktanya demikian, maka BPN dipastikan siap akan memberikan tindakan penertiban. Tidak saja pada empat badan hukum, tahun 2011 mendatang dana yang dialokasikan bisa lebih besar. “Bisa saja kita akan gerus semua,” ucapnya.

Proses penertiban lanjutnya jelas akan dilakukan BPN secara bertahap. Terlebih dalam proses penertiban ini ada beberapa pertimbangan secara matang dilakukan sebelum eksekusi dilaksanakan. Tidak diinginkan BPN, ketidakhati-hatian BPN membuat masalah baru dalam proses penertiban ini.

Upaya penertiban tanah terlantar dinyatakan banyak hal yang harus menjadi pertimbangannya. Pertimbangan hukum, politik dan sosial budaya. Pastinya, BPN tidak akan setengah hati dalam penertiban tanah terlantar ini. BPN akan serius.

Gaji Guru Terlalu Gemuk Politik Anggaran Pendidikan Harus Dikaji Ulang

PEMERHATI Pendidikan dari Universitas Mataram, Dr. H. Rusdiawan., menyebutkan dengan adanya sertifikasi guru membuat gaji guru cukup gemuk. Sementara, dampak dari sertifikasi itu agar mutu pendidikan NTB pada khususnya dapat ditingkatkan sampai saat ini belum terlihat. Melihat fakta itu, disarankan Rusdiawan politik anggaran pendidikan ini harus dikaji ulang.

Hal itu disampaikan Rusdiawan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN khususnya sebagian besar diperuntukkan untuk mengadakan sertifikasi guru. Nilainya sangat jauh dibandingkan dengan total peningkatan infrastruktur lain.

Untuk bayar gaji guru dibandingkan dengan yang lainnya dalam pembangunan pendidikan berbanding 70:30 persen. Artinya, belanja pegawai guru dirasa Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unram ini jauh lebih besar dibandingkan belanja public.

Hal ini dianggap Rusdiawan cukup berbahaya jika tidak diperhatikan. Terlebih 70 persen uang negara untuk bayar gaji guru yang rata-rata Rp 4-5 juta ini tidak diikuti dengan upaya guru meningkatkan mutu pengajarannya.

Pengamatan Rusdiawan, tidak sedikit guru dan dosen yang telah mendapatkan sertifikasi justru jadi pemalas. Penuturan di beberapa sekolah juga katanya, guru sertifikasi yang sudah menerima tunjangan menyerahkan tugas dan beban mengajarnya pada guru-guru honor. Sementara mereka hanya ongkang-ongkang kaki.

Perkembangan pendidikan, khususnya di NTB dinilainya sangat lambat. Hal itu tidak lepas dari ketimpangan anggaran etrsebut. Dimana, sehebat apapun juga guru jika tidak didukung dengan upaya peningkatan sarana dan prasarana maka akan sangat berbahaya. Menurut Rusdiawan juga selama ini tidak ada korelasi ternyata antara mengadakan sertifikasi dengan peningkatan mutu pendidikan itu.

Besarnya anggaran pendidikan untuk guru dari pemerintah pusat semestinya dapat diimbangi oleh pemerintah daerah (pemda). Jajaran pemda harus bisa mengambil peran . “Disinilah makna otonomi juga semestinta digunakan,” ucapnya. Perhatikan politik anggaran yang di pemkab.

Rusdiawan mengakui ada guru yang ideal dan rajin dan ada guru yang malas. Adanya guru yang malas kerap membuat iri guru yang semula ideal dan rajin. Berpikir gaji sama saja dengan yang malas sehingga ikut-ikutan malas. Dampak buruknya bagi dunia pendidikan.

Dikritik Dekan FKIP Unram ini, selama ini tergambar jelas hanya gaji yang meningkat. Sementara mutu pendidikan tidak kunjung meningkat. Gaji guru yang cukup besar ini sangat jauh jika dibandingkan dengan tenaga administrasi meski masuknya dari pagi sampai sore dan tiap hari. Berbeda dengan guru yang banyak sekali liburnya, namun meski demikian masih saja terus menuntut untuk ditingkatkan kesejahteraannya.

Ratusan Ribu Hektar Lahan Kritis NTB Belum Mampu Disentuh Gerhan

Seluas 160 ribu hektar (ha) lahan kritis yang ada di NTB belum mampu disentuh gerakan penghijauan (gerhan). Dimana, gerhan yang polanya semenjak tahun 2006 lalu berubah untuk NTB hanya mampu menyentuh 9.800 ha. Itupun belum semuanya terlihat berhasil.

Disampaikan Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) NTB, Ir. Hartina, MM., guna mengejar proses penyelamatan lahan kritis tersebut yang diandalkan tidak saja gerhan yang polanya melalui proses tender.

Pola-pola lainnya, seperti melibatkan masyarakat dan pihak swasta terhadap reboisasi ini terus digalakkan. Siapa yang mau menanam diberikan. Untuk tahun 2010, sebut Hartina, ditargetkan bisa menanam 50 ribu ha. “Ini adalah MoU Dinas Kehutanan dengan Gubernur,” tegasnya.

Mencapai target itu, pihaknya tidak berhenti mendesak pusat agar ada bantuan untuk perbaikan lahan-lahan kritis yang ada di NTB. Disyukuri, trembesi dapat 1 juta benih untuk dikembangkan, lainnya ada bantuan dari kementerian kehutanan membentuk kebun bibit rakyat (KBR). Melalui KBR ini saja diharapkan sekitar 12 juta pohon bisa ditanam.

“Kita coba rebut peluang-peluang di Kemenhut, dan KBR ini kita rata-ratakan memperoleh 2 unit perkecamatan dengan rata-rata 100 pohon,” sebutnya.

Selanjutnya, terkait dengan gerhan dituturkan Hartina, pemerintah terhitung sejak tahun 2004 silam pemerintah tidak lagi melakukan penanaman sendiri. Jumlah lahan yang kritis itu ditender proses gerhannya, mulai dari pembenihan, penanaman hingga proses perawatan dalam beberapa tahun berjalan dilakukan proses tender.

Khusus NTB, tender dilakukan pada luasan 9.800 ha tersebut, dimana ribuan ha lahan itu diikuti 29 perusahaan. Melalui proses tender inilah dipastikan uang Negara jauh lebih bisa diselamatkan. Pasalnya, proses pembayaran dilakukan pemerintah setelah proses penanaman dan melihat hasil. Jika perusahaan yang melakukan tender terlihat tidak berhasil, maka bisa tidak dibayarkan.

“Itulah sanksinya baru perusahaan,” tegas Hartina. Dimisalkan Kadishut NTB ini, perusahaan yang mengelola 350 hektar lahan yang terbagi dalam 14 petak dan terlihat berhasil hanya 3 petak, maka yang dibayarkan hanya 3 petak itu saja. “Sisanya 11 petak itu tersimpan uang Negara,” ucapnya.

Meski demikian, terhadap perusahaan tetap diingatkan jajaran kehutanan agar memperhatikan pemeliharaan tanamannya

Khawatir Monopoli Investor Tidak Diperkenankan Kelola TNGR

Kepala Balai taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Syihabuddin, menyatakan pihaknya tidak memperkenankan investor masuk mengelola TNGR. Meski dijanjikan akan dikelola lebih baik dari sekarang, Kepala TNGR ini tetap bersikukuh tidak mau menjual TNGR ke tangan investor karena dikhawatirkan akan dinomopoli pengelolaannya oleh investor.

“Banyak sudah yang menawarkan diri mau masuk,” Kepala TNGR itu. Ia menilai pemanfaatan TNGR seperti sekarang ini jauh lebih baik daripada dengan mendatangkan investor.

Jika investor yang mengelola, maka segala kegiatan TNGR dimonopoli oleh investor. Porter, guide dan lainnya yang mencoba mengais rezeki dari tracking gunung rinjani khawatirnya hilang mata pecaharian mereka. Pasalnya, investor sebagian besar akan memilih dan menentukan sendiri tenaga yang digunakan.

Berdasarkan pengalaman di beberapa taman nasional, sebut Syihabuddin kekhawatirannya terjadi. Seperti taman nasional Gunung Tengger Jawa Timur, dimana banyak memang orang asing datang, namun masyarakat hanya sebagai penonton.

Diakui dengan mendatangkan investor kemajuan TNGR bisa lebih cepat. Namun yang akan menikmati hasilnya hanyalah orang menengah keatas. Disamping itu, faktor keamanan jelas akan terganggu. Tidak mau dicoreng Syihabuddin, TNGR saat ini sebagai kawasan paling aman secara nasional jadi terganggu.

Syihabuddin menyadari dengan tidak ada investor kemajuan akan lamban. Lambatnya proses pembangunan di TNGR lebih dipilih daripada merusak citra TNGR di mata masyarkat sekitar. Diinginkan, masyarakat sekitar itulah yang berimprovisasi. Mengembangkan sendiri peluang pengembangan ekonominya. “Tidak apa-apa lamban dari pada masyarakat sekitar kolap,” imbuhnya.

Ditambahkan, terkait tawaran Syihabuddin menyebut cukup banyak sudah investor yang menawarkan diri. “Sudah ada tiga proposal ini yang masuk lagi,” sebutnya. Setiap yang masuk katanya ditanggapi dengan menyatakan saat ini pihaknya sedang menyusun potensi dan rencana pemeliharaan. Setiap investor yang ingin masuk dengan ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) pun ditolak.



Terbesar Ketiga Nasional

Selanjutnya disebutkan Kepala Balai TNGR yang baru setahun menjabat ini, saat ini TNGR dari semua taman nasional se Indonesia tercatat sebagai penyumbang pendapatan negara terbesar ke tiga secara nasional, yakni sebesar Rp 200 juta pertahunnya. Padahal dari segi retribusi, TNGR paling rendah mengambil dari pengunjung.

Wisatawan asing hanya dibebani Rp 20 ribu, sedangkan lokal hanya Rp 2 ribu. Disampaikan Syihabuddin, pihaknya sebenarnya telah mengusulkan agar bisa ditingkatkan. Bahkan pernah diusulkan akan dinaikkan menjadi Rp 200 ribu untuk wisatawan asing. Namun, aturan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 tahun 1999 yang tidak membenarkan.

Padahal menurutnya, sangat pantas dinaikkan Rp 200 ribu. Pasalnya, di daerah lain sudah jauh lebih tinggi. Sementara, TNGR yang jumlah pengunjungnya ribuan orang perbulannya ini hanya mematok harga tidak seberapa. Sementara di Kinibalu Malaysia saja yang hanya datang untuk melihat burung dipatok harga 15 dolar amerika. “Sebenarnya PP ini harus direvisi,” ucapnya. Terlebih penetapan harga brapapun khusus wisatawan asing ini tidak memberatkan.