Thursday, March 18, 2010

Terkait Pembatalan UN Penentuan Kelulusan Siswa, Tidak Harus Dengan UN

Putusan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga hukum tertinggi di Indonesia yang membatalkan Ujian Nasional (UN) mendapat reaksi dari berbagai pihak. Dari beberapa Sumber yang dihubungi Suara NTB menyatakan setuju dengan tidak akan lagi digelarnya UN bagi siswa-siswi kelas III SMA dan SMP sederajat.

ALVI Azimi salah seorang siswa di Kota Mataram mengatakan sangat setuju dihapuskannya UN. Dikatakan, UN selama ini sebagai sosok yang menakutkan bagi setiap siswa yang akan menjalaninya. Takut tidak lulus. Karena standar nilai kelulusannya selalu meningkat tiap tahunnya, bahkan sepengetahuannya tahun ini rata-rata nilai 5,5 baru siswa dapat dinyatakan lulus.

Ditambahkan, menjadi siswa kelas III dengan telah diwanti-wanti jauh-jauh hari sebelumnya oleh para guru. Tak heran, siswa bahkan tidak jarang siswa stress ketika menghadapi UN. Terlebih UN saat ini terkesan dilaksanakan penuh kecurangan. Dugaan kebocoran soal dimana-mana. Akibatnya, kelulusan siswa syarat kebohongan.

Guru-guru pengajar dikelas III berlomba-lomba menjadi tim sukses kelulusan siswa. Parahnya lagi, sekolah-sekolah seperti main gengsi-gengsian. Ketakutan dikatakan sekolahnya banyak tidak lulus kerap menjadi pemicu yang mendorong guru dan kepala sekolah berusaha menjadikan kelulusan meningkat.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) NTB, Drs. Ali A Rahim dihubungi Kamis (26/11) lalu mengutarakan tidak sependapat sepenuhnya dengan rencana penghapusan UN. Hanya saja, terangnya harus ada perbaikan secara menyeluruh pada proses penyelenggaraan UN. Dimana, selama ini UN seperti dijadikan satu-satunya syarat meluluskan siswa.

Disarankan Ali Rahim, pelaksanaan UN harus dikembalikan pada dasar hukum pelaksanaannya. Utamanya yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2009 tentang standar nasional pendidikan. PP tersebut mengamanatkan penentuan kelulusan akir siswa sekolah bukan dengan cara komputerisasi seperti dilakukan saat ini.

“Bahasa saya bukan dihapus,” cakap Ali. Namun penentuan kelulusan yang bersifat sentralistik seperti sekarang imbuhnya harus dirubah. Serahkan penentuan kelulusannya ke sekolah bersangkutan. Pasalnya, yang lebih mengerti dan memahami tingkat kompetensi siswa adalah para guru di sekolah.

Tidak dinafik Ali bahwa UN selama ini cukup efektif dijadikan sebagai cara melihat tingkat kompetensi siswa secara nasional. Ada standarisasi kelulusannya yang saat ini rata-rata 5,5. Penentuan standarisasi ini dirasa kurang tepat, karena secara nasional pengetahusan siswa antara daerah satu dengan daerah lainnya berbeda.

Peran pusat secara nasional, menurut Ali pun harus dirubah. Nama UN bisa tetap melenggang dengan catatan peran pusat cukup pada pembuatan penjadwalan pelaksanaan secara nasional dan adanya kisi-kisi soal. Penjabaran soal-soal ujian yang akan diujikan disarankan bisa diserahkan di pemerintah provinsi dan kabupaten setempat. Dan penentuan kelulusan, tetap melihat pertimbangan dari sekolah yang menggelar UN.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olah Raga (Dikpora) NTB, Drs. H. Ma’shum, MM menyampaikan pihaknya saat ini masih menunggu reaksi menteri pendidikan nasional terhadap hasil putusan MA tersebut. Sehingga saat dikonfirmasi, Ma’shum hanya mengatakan belum bisa mengambil sikap apa-apa. “Menteri aja belum, apalagi setingkat kepala dinas,” demikian.

Menghadapi UN 2010 Tidak ada lagi Mata Pelajaran yang Menakutkan

Ujian Nasional (UN) hingga kini diakui atau tidak masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian siswa. Bahkan bagi sebagian sekolah yang kerap sebagai pelaksana kegiatan UN. Mata pelajaran eksak, seperti Matematika, Fisika, Kimia dan menghitung lainnya kerap menjadi mata pelajaran yang paling ditakuti. Masihkah itu?

NITA Fitri salah satu siswa asal Kota Mataram yang akan mengikuti UN Senin (22/3) mendatang menyatakan siap atau tidak siap, harus siap menghadapi UN. Bagi Nita, mengikuti UN memang membutuhkan pemikiran yang jauh beda dibandingkan mengikuti ujian-ujian sehari-hari di Sekolah, seperti halnya Try Out.

Menurut Nita, UN memang sampai sekarang ditakuti siswa. Namun jika dihadapi dengan kesiapan yang matang perasaan itu tidak akan ada. Malahan baginya akan dihadapi dengan menyenangkan. Terkait mata pelajaran, matematika diakui dulu paling menakutkan. Namun saat ini pelajaran eksak yang akan diujikan itu dipastikan tidak lagi menjadi momok.

Hal senada diungkapkan Muhaimin. SMK swasta di Mataram asal Lombok Timur (Lotim) ini menyatakan dulunya ketika di SMP mata pelajaran Matematika, Fisika, Bahasa Inggris adalah pelajaran yang ditakuti. Terlebih matematika sebagai mata pelajaran yang dulunya jarang disukai. Apalagi, kalau gurunya juga “killer” alias galak. Pelajaran matematika ini tampak seperti momok yang ditakuti sekali.

Saat ini, diungkapkan mata pelajaran itu tidak lagi menjadi hal yang menakutkan lagi. Menurut Muhaimin, pendapatnya itu dianggap tidak jauh berbeda dengan rekan-rekannya. Sebab, pelajaran ini saat ini dapat disajikan dengan suasana yang menyenangkan. Guru-guru sudah mulai mengajarkan pelajaran sulit dengan cara yang menggembirakan. Sehingga mudah dicerna.

Adanya perubahan pandangan terhadap mata pelajaran sulit itu dinilai juga oleh jajaran Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Kota Mataram. Seperti diungkapkan Kepala Bidang (Kabid) Pendidikan Dasar (Dikdas) Dikpora Mataram, Ruslan Efendy kepada Suara NTB. Dikatakan, dulu memang mata pelajaran eksak banyak yang menakuti. Namun saat ini sudah dirasakan tidak lagi.

Disampaikan, fakta perubahan itu terlihan dari nilai Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) tingkat SD maupun UN ditingkat SMP. Ditemukan, mata pelajaran matematika, fisika atupun pelajaran yang dianggap menakutkan lainnya rata-rata nilainya tidak begitu rendah. Tidak ada mata pelajaran yang menonjol seperti yang dulu. Semua mata pelajaran menurutnya sama saja tingkat kesulitan yang dihadapi siswa. ()